Pages

Banner 468 x 60px

 

Sabtu, 03 Maret 2018

Al Quran, Raja, dan Sahabat

0 komentar


Sudah masyhur gambaran seorang raja, dengan pakaian kebesarannya dia berjalan, dan dengan penuh khidmat menuju takhtanya. Di takhtanya itu dia bertitah, di takhtanya itu dia dipuja.

Karena kebesaran dan keagungannya itu, sang raja disegani. Para petingi raja, pembantunya, apalagi rakyat jelata, menjaga jarak untuk menghormati kedudukan sang raja. Mereka tiada tahu bagaimana seluk beluk kehidupan raja sebenarnya. Terkadang sembah pujanya tiada ikhlas di hati, hanyalah bentuk penghormatan belaka, yang kosong tiada berkesan, sebagian lainnya tidak memedulikan raja itu, mungkin karena jarak yang harus dijaga itu, atau karena titah-titahnya yang berpola sama dan membosankan.

Al Quran, sebagian orang “memperlakukannya” kurang lebih sama dengan cerita sang raja itu

Dia dipuja sebagai kalam Allah, kalimat-kalimat suci berupa perintah dan laranganNya, yang dituliskan dalam lembaran kertas dan dihimpun menjadi suatu kitab. Tidak sembarang orang dapat memegang lembaran itu, kecuali dia harus suci. Tidak boleh—mengikuti tata krama—meletakkan Al Quran sejajar dengan kaki, sehingga ketika dia melihat Al Quran tergeletak begitu saja di lantai hatinya tergerak untuk meletakkannya di tempat tinggi. Bertakhtalah ia di tempat yang tinggi.

Karena “kebesarannya” itu, para pengikutnya “mengambil jarak” dengannya, sehingga mereka tidak tahu bagaimana isi dan makna kitab itu. Terkadang “sembah pujanya” itu “tiada ikhlas di hati”, mungkin hanya terpaksa karena untuk melunasi utang mengaji di surau, atau melanjutkan tradisi Yasinan, ketika hanya saat itulah Al Quran dibacanya, atau lainnya. Sehingga “penghormatan” itu sebenarnya hanyalah kosong, tiada bermakna.

Sebagian lainnya memang tidak menaruh hormat pada kitab itu. Meskipun mereka tergerak untuk meletakkan Al Quran yang tergeletak ke tempat yang lebih tinggi, mereka tidak peduli dengan titah-titah yang tertulis di dalamnya, yang dianggap membosankan. Coba kita letakkan jari di Al Quran yang ada di rumah orang sejenis mereka—syukur kalau ada—dan kita akan tahu sendiri seberapa tebal debu yang melekat pada kitab yang malang itu.

Mulai sekarang, jadikanlah Al Quran sebagai “sahabat” kita.

Sahabat satu ini tidak pernah meninggalkan kita, mungkin malah kita yang meninggalkan dia. Betapa sibuknya hingar bingar kehidupan dunia ini membuat kita lupa bahwa ada sahabat yang harus dikunjungi, diajak cerita.

Tidak masalah pada awalnya kita kaku bertemu dengannya. Tidak masalah pada awalnya kita berkelakar dengannya sebentar. Bukankah orang yang baru dikenal memang terasa kaku, kemudian kita dekati dia sedikit demi sedikit dan akhirnya menjadi sahabat sejati? Tiada susah bersahabat dengan Al Quran, tanyalah bagaimana cara “berkelakar” dengannya kepada “sahabat” lainnya, yang lebih mengerti dirinya. Mereka yang telah mengerti ilmu “berkelakar” dengan Al Quran, yakni ilmu tajwid. Atau lebih jauh, mereka yang telah mendalami seluk beluk Al Quran, yakni para Ulama Tafsir, yang karangan mereka telah diringkas dalam bentuk buku. Bertanyalah kepada mereka yang ahli.

Satu hal penting, di kala sahabat lainnya tidak dapat menenteramkan hati kita, maka datanglah kepada Al Quran sahabat sejati. Tertulis di dalamnya,

Orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat Allah. Ingat, dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS 13:28)

Salah satu cara mengingat Allah adalah dengan membaca Al Quran, karena Al Quran itu adalah perkataan Allah sendiri.

Al Quran Bukanlah Raja Bertakhta
Jadikanlah Sebagai Sahabat Setia
...

Di suatu tempat dan waktu,
Sebelum sepasang kekasih hendak dijadikan “Raja dan Ratu Sehari”

IBNU SALIM BAJAMBEK

0 komentar:

Posting Komentar

 
HMJ Sejarah UNP © 2017-2018