Sudah masyhur gambaran seorang
raja, dengan pakaian kebesarannya dia berjalan, dan dengan penuh khidmat menuju
takhtanya. Di takhtanya itu dia bertitah, di takhtanya itu dia dipuja.
Karena kebesaran dan keagungannya
itu, sang raja disegani. Para petingi raja, pembantunya, apalagi rakyat jelata,
menjaga jarak untuk menghormati kedudukan sang raja. Mereka tiada tahu
bagaimana seluk beluk kehidupan raja sebenarnya. Terkadang sembah pujanya tiada
ikhlas di hati, hanyalah bentuk penghormatan belaka, yang kosong tiada
berkesan, sebagian lainnya tidak memedulikan raja itu, mungkin karena jarak
yang harus dijaga itu, atau karena titah-titahnya yang berpola sama dan
membosankan.
Al Quran, sebagian orang
“memperlakukannya” kurang lebih sama dengan cerita sang raja itu
Dia dipuja sebagai kalam Allah,
kalimat-kalimat suci berupa perintah dan laranganNya, yang dituliskan dalam
lembaran kertas dan dihimpun menjadi suatu kitab. Tidak sembarang orang dapat
memegang lembaran itu, kecuali dia harus suci. Tidak boleh—mengikuti tata
krama—meletakkan Al Quran sejajar dengan kaki, sehingga ketika dia melihat Al
Quran tergeletak begitu saja di lantai hatinya tergerak untuk meletakkannya di
tempat tinggi. Bertakhtalah ia di tempat yang tinggi.
Karena “kebesarannya” itu, para
pengikutnya “mengambil jarak” dengannya, sehingga mereka tidak tahu bagaimana
isi dan makna kitab itu. Terkadang “sembah pujanya” itu “tiada ikhlas di hati”,
mungkin hanya terpaksa karena untuk melunasi utang mengaji di surau, atau
melanjutkan tradisi Yasinan, ketika hanya saat itulah Al Quran dibacanya, atau
lainnya. Sehingga “penghormatan” itu sebenarnya hanyalah kosong, tiada
bermakna.
Sebagian lainnya memang tidak
menaruh hormat pada kitab itu. Meskipun mereka tergerak untuk meletakkan Al
Quran yang tergeletak ke tempat yang lebih tinggi, mereka tidak peduli dengan
titah-titah yang tertulis di dalamnya, yang dianggap membosankan. Coba kita letakkan
jari di Al Quran yang ada di rumah orang sejenis mereka—syukur kalau ada—dan kita
akan tahu sendiri seberapa tebal debu yang melekat pada kitab yang malang itu.
Mulai sekarang, jadikanlah Al
Quran sebagai “sahabat” kita.
Sahabat satu ini tidak pernah
meninggalkan kita, mungkin malah kita yang meninggalkan dia. Betapa sibuknya hingar
bingar kehidupan dunia ini membuat kita lupa bahwa ada sahabat yang harus
dikunjungi, diajak cerita.
Tidak masalah pada awalnya kita
kaku bertemu dengannya. Tidak masalah pada awalnya kita berkelakar dengannya
sebentar. Bukankah orang yang baru dikenal memang terasa kaku, kemudian kita
dekati dia sedikit demi sedikit dan akhirnya menjadi sahabat sejati? Tiada
susah bersahabat dengan Al Quran, tanyalah bagaimana cara “berkelakar”
dengannya kepada “sahabat” lainnya, yang lebih mengerti dirinya. Mereka yang
telah mengerti ilmu “berkelakar” dengan Al Quran, yakni ilmu tajwid. Atau lebih
jauh, mereka yang telah mendalami seluk beluk Al Quran, yakni para Ulama
Tafsir, yang karangan mereka telah diringkas dalam bentuk buku. Bertanyalah
kepada mereka yang ahli.
Satu hal penting, di kala sahabat
lainnya tidak dapat menenteramkan hati kita, maka datanglah kepada Al Quran
sahabat sejati. Tertulis di dalamnya,
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat
Allah. Ingat, dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS 13:28)
Salah satu cara mengingat Allah
adalah dengan membaca Al Quran, karena Al Quran itu adalah perkataan Allah
sendiri.
Al Quran Bukanlah Raja Bertakhta
Jadikanlah Sebagai Sahabat Setia
...
Di suatu tempat dan waktu,
Sebelum sepasang kekasih hendak
dijadikan “Raja dan Ratu Sehari”
IBNU SALIM BAJAMBEK
0 komentar:
Posting Komentar