Pages

Banner 468 x 60px

 

Jumat, 23 Maret 2018

SANG PERAWAT

0 komentar


“Aaaaaaaaaaaaa.......”
“Tolong tolong tolong....”
“Tolong tolong....”

Jeritan demi jeritan menggema. Hanya berbilang detik, jalan telah dipenuhi oleh ratusan orang. Mereka yang berniat menolong ataupun mereka yang hanya sekedar ingin mengusir rasa penasaran terhadap apa yang barusan terjadi, tanpa sedikitpun berbuat apa-apa. Darah yang tak terbendung lagi telah membuat sepanjang badan jalan berwarna merah mengerikan. Aungan ambulance terdengar begitu mencekam. Menerobos masuk ke dalam ratusan orang yang berdiri sedari tadi. Melaju cepat setelah korban-korban dimasukkan dengan sigap oleh petugas.

“Aku dimana ?” Tangannya mulai bergerak. Mata yang semenjak semalam terlelap perlahan terbuka.
“Alhamdulillah kamu udah sadar sayang. Kamu sekarang ada di rumah sakit. Kamu istirahat saja dulu ya... Kondisimu belum pulih betul....” jawab seorang ibuk-ibuk berkepala lima, yang telah semalaman menemani buah hatinya yang mengalami kecelakaan.
“Papa mana..?”
“Papa masih di luar negeri. Barusan tadi dia nelpon nanya kabar kamu. Mungkin besok baru nyampe sini...”
“Ferari-ku gimana Ma...? nanti aku pasti dimarahin Papa...”
“Kamu gak usah mikirin itu dulu Sani. Kamu istirahat saja. Urusan itu biar Mama yang ngomong sama Papa nanti...”
“Tapi Ma...”
“Shhhhhh....” seraya mengusap lembut kepala anaknya yang masih diperban.
“Kamu gak usah mikir-mikir yang lain. Sekarang istirahat saja dulu. Kata dokter benturanmu semalam tidak terlalu keras, jadi hanya butuh istirahat untuk beberapa hari saja...”
“Aku pengen pulang Ma... Gak enak disini”
“Kata dokter kamu belum bisa pulang hari ini. Tiga hari ke depan baru kamu diizinkan pulang. Kamu yang sabar saja Sani. Anggap ini teguran dari Tuhan untukmu yang selalu balap-balapan liar di jalanan...”
“Ah... Mama gak ngerti kali dunia anak muda. Kecelakaan dikit kayak gini ya biasalah... Namanya juga laki-laki...”
“Kamu gak pernah mau berubah sedikitpun. Kawan-kawanmu setelah mengalami kecelakaan semuanya memilih meninggalkan hoby gila itu. Kamu saja lagi. Entah kapan kamu bisa berhenti dari balap-balapan liar itu. Mama khawatir tau...”
“Gak usah terlalu mengkhawatirkan aku Ma... Kalau memang sudah ajal kan mau dimana juga ya kita akan tetap mati. Toh mau duduk manis di rumah kalau memang sudah ajalnya kan tetap mati juga Ma...”
“Ah.. kamu paling susah kalau dibilangin. Kamu saja yang betul...”
“Udahlah Ma... Aku mau keluar bentar.. Nyari angin segar di dekat sini...”
“Tapi kondisimu masih lemah Sani...”
“Aku gak apa-apa kok.. Aku bosan disini..”
“Mama temenin ya...”
“Gak usah Ma.. Aku bisa sendiri..”
“Beneran gak mau nih...?”
“Iya...”
“Ya udah kamu hati-hati ya sayang...”
“Iya Ma...”

Sani perlahan melangkah, beranjak keluar. Tak jelas juga tujuannya. Hanya dituntun oleh keinginan hati. Dia berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang lumayan panjang. Langkahnya tiba-tiba terhenti, bukan karena kakinya yang masih terasa sakit akibat benturan semalam. Tapi karena seseorang. Seseorang yang mengenakan pakaian serba putih seperti halnya pakaian perawat kebanyakan, hanya saja dia dihiasi dengan hijab syar’i yang juga berwarna putih, yang tak dapat dijumpai pada perawat-perawat yang lain di rumah sakit ini. Seorang perawat dengan wajah yang mampu membuat jantung Sani berdetak lebih kencang dari biasanya.

Dengan langkah perlahan dia mencoba mengikuti sang perawat itu. Perawat itu memasuki salah satu ruangan pasien. Dia sedang mengganti cairan infus pasien yang hampir habis. Sani mencoba mengintip dari balik pintu, menyimak dengan seksama perawat yang sejak tadi membuat jantungnya berdetak kencang.
“Nenek yang banyak istirahatnya ya...”
“Iya nak...”
“Nak...?”
“Ada apa nek..?”
“Nenek boleh nggak minta tolong ambilkan buku itu...” Ucap pasien yang sudah berumur 80 tahun itu seraya tangannya menunjuk ke arah buku yang terletak di atas meja.
Perawat itupun dengan lembut memberikan buku itu kepada pasiennya.
“Boleh gak nenek minta bacakan buku cerita ini...”
“Ah nenek... kayak anak kecil aja... udah tua masih saja suka dengar cerita...” tersenyum seraya tangannya mencubit manja pipi pasien yang telah berumur 80 tahun itu.
“Dengar ya... tapi nenek janji akan tidur setelah mendengar cerita ini ya...”
“Ya nenek janji cantik...”
“Ah nenek muji kalau ada maunya saja...”
Mereka berdua tertawa. Layaknya seorang nenek dengan cucu kandungnya. Bukan lagi seorang pasien dan perawat.
“Ya Tuhan... begitu lembut hati perempuan itu. Sungguh aku telah jatuh cinta padanya. Mengagumkan. Aku mohon Tuhan, jika aku telah sembuh nanti, izinkan aku untuk bisa mendekatinya. Aku berjanji akan menikahinya...”

Pasien berumur 80 tahun itu pun tertidur pulas. Sang perawat menyudahi membacakan buku cerita itu. Dia pun beranjak untuk keluar ruangan. Sani yang sedari tadi menyimak di balik pintu bergegas melangkah dan pura-pura tidak tahu apa-apa ketika perawat itu lewat di depannya. Perawat itu tersenyum padanya. Membuat detak jantung Sani berdetak lebih kencang lagi. Kakinya melemah. Tubuhnya terdiam pasrah. Terkena panah cinta sang perawat itu.

Sani masih memperhatikan perawat itu yang berjalan dengan anggun menuju ruangannya. Rasa cinta yang tak terbendung lagi membuat dia berusaha mengejar perawat itu sebisa mungkin. Meskipun kakinya terasa sakit ketika harus digerakkan lebih cepat.

Sani telah berada tepat di depan pintu ruangan perawat. Dia mencoba mengetuk pintu dan yang keluar bukanlah perawat yang dia cari.
“Ada apa Mas...? Ada yang bisa saya bantu...?”
“Kalau boleh nanya perawat yang barusan masuk ke ruangan ini mana ya mbak...?”
“Hah... perasaan dari tadi nggak ada perawat lain yang masuk ke ruangan ini. Hari ini cuman saya yang piket. Memang sih dalam jadwal seharusnya ada dua orang yang piket hari ini. Tapi...”

Pandangan Sani tiba-tiba terarah pada salah satu foto di daftar nama perawat rumah sakit itu.
“Ha ini dia mbak... Ini perawat yang aku maksud...” seraya tangannya menunjuk ke salah satu foto perawat yang ada di daftar itu.
“Rinai ? Jadwalnya memang dia piket hari ini. Tapi...”
“Tapi apa mbak....”
“Semalam dia kecelakaan. Saat perjalanan pulang ke rumah, dia ditabrak oleh mobil Ferari dengan kecepatan tinggi. Dan dia sekarang dalam kondisi kritis di ruangan ICU...”

Sontak tubuh Sani melemah. Air matanya dengan deras berjatuhan. Dengan sekuat tenaga dia mencoba untuk menuju ruangan ICU. Dari balik kaca kecil di pintu, Sani melihat seorang perempuan yang tertidur dengan selang-selang yang masih melekat di kepala dan tangannya, perempuan dengan wajah yang sama dengan perawat yang dia lihat saat membacakan cerita pada nenek tua tadi.
“Bangun Rinai...”
“Pliss... Bangun sayang..
“Aku mencintaimu...”
“Maafkan aku yang telah membuatmu seperti ini...”
“Maafkan aku sayang...”
“Pliss bangun....”
“Aku janji gak bakalan balap-balapan liar lagi. Aku janji. Kamu bangun ya...”
“Bangun Rinai....”


Padang, 23 Maret 2018
ACHMAD EDWIN SUTIAWAN

0 komentar:

Posting Komentar

 
HMJ Sejarah UNP © 2017-2018