Pages

Banner 468 x 60px

 

Rabu, 28 Februari 2018

Kami Tidak Sama, Namun Kami Satu.

0 komentar

Oleh : Randa (Sejarah '15 UNP)

Saya merasakan sebuah gejolak dihati ini, apa yang terjadi saat ini tidak sesuai dengan keinginan saya ketika baru menginjakan kaki dibangku perkuliahan dulu, namun jiwa ini saya ajak berbicara berdua saja, saya meyakinkan dia bahwa ini adalah rencana Tuhan dan Tuhan selalu merencanakan yang terbaik untuk hambanya-Nya.

Pagi ini Sabtu 24 Februari 2018, cuaca begitu cerah, mentari sudah mulai beranjak naik di Timur sana, daun-daun mulai mengibaskan embun yang menyelimutinya sehingga jatuh ke tanah tanpa meninggalkan bekas, burung-burung memulai operasinya, terbang kesana-kesini untuk mencari satu atau dua biji makanan untuk pagi ini. Saya rasa persiapan saya sudah cukup, saya memulai langkah perjalanan dengan mengendarai motor menuju kampus yang tidak begitu jauh, walaupun hari ini hari sabtu saya tetap ke kampus, karena hari ini akan dilaksanakan Upgrading kepengurusan HMJ Sejarah UNP periode 2017-2018.

Syukur Alhamdulillah, pada periode kali ini, kami mendapatkan kepercayaan untuk mengemban amanah sebagai pengurus HMJ Sejarah FIS UNP periode 2017-2018, tentu ini sebuah amanah yang harus dijaga dengan baik karena kelak akan dimintak pertanggung jawabannya di mata manusia dan juga di mata Sang Pencipta. Sebanyak 33 orang kami mengucapkan sumpah dengan al-Qur’an diletakkan di atas kepala ini dan disaksikan oleh orang banyak. Banyak yang terlintas di kepala ini, ketika kami disuruh mengulang apa yang diucapkan oleh sang pengambil sumpah, kata-kata setia, bekerja, bersungguh-sungguh dan bertanggung jawab adalah kata-kata yang sangat saya cermati, kata-kata itu begitu ringan diucapkan namun begitu berat untuk dilaksanakan. Karena memang sejatinya kata-kata adalah penipu yang paling ulung, betapa banyak diluar sana orang-orang menangis karena janji dan kata-kata manis. Maka saran saya jangan terlalu percaya terhadap kata-kata seseorang, apalagi mereka yang pintar mengumbar janji manis.

Untuk menjadi pengurus yang handal, kreatif dan mandiri, tentu dibutuhkan sebuah pelatihan yang akan memupuk dan menanamkan wawasan keilmuan tentang Kepemimpinan dan keorganisasian. Ini bertujuan untuk mengahasilkan pengurus sebuah organisasi yang paham organisasi, yang bersungguh-sungguh dalam mengemban amanah dan rukun dalam ikatan kebersamaan organisasinya. Banyak cara yang dilakukan oleh berbagai instansi atau sebuah organisasi untuk mencapai tujuan tersebut, salah satunya adalah HMJ Sejarah FIS UNP tempat saya dan teman-teman berproses hari ini. Bergabung dalam kepengurusan HMJ hari ini merupakan sebuah kebetulan dan diluar rencana saya, karena semenjak menginjakkan kaki di bangku perkuliahan tidak pernah terlintas dikepala ini untuk menjadi bagian dari sebuah oragnisasi apapun itu, namun setelah saya bawa  jiwa ini untuk berbicara berdua saja, saya merasa ini adalah anugrah yang besar, ini merupakan bentuk proses pendewasaan yang Tuhan titipkan kepada HMJ sejarah untuk saya, saya mulai meyakinkan diri bahwa ini adalah rencana Tuhan, dan Tuhan selalu inginkan yang terbaik untuk hamba-Nya.

Dengan mengucapkan Bismillahhirrahmanirrahim maka acara Upgrading pengurus HMJ ini saya bukak dengan resmi, suara yang begitu tegas, jelas dan lantang terucap dari mulut sekretaris jurusan kami Bapak Dr. Ofianto, dengan tangan memukul podium bagian atas sebanyak tiga kali dan kemudian diringi dengan tepuk tangan yang meriah oleh peserta Upgradig pagi itu. Seusai pembukaan secara resmi oleh Bapak Ofianto, rangkaian acara Upgrading dimulai, dengan formalitas kami diserahkan kepada pemateri-pemateri yang akan memandu kami selama dua hari kedepan.

Matur Prasojo, memulai materi pagi ini, dengan penuh semangat dia menyapa kami dengan bervariasi sapaan, mengahadirkan sebuah hal baru ditengah-tengah kami, mnghidupkan kembali gairah kami sebagai seorang aktivis, membawa angin kesejukan, bagaikan taman yang sudah hampir putus asa menunggu hujan. Bg Jo, begitu kami memanggilnya, kami dimintak memperkenalkan diri dan memperkenalkan teman disebelah kami, kami merasa ini adalah kedekatan kami yang begitu dekat dengan teman-teman, sehingga kami merasa tidak ada lagi perbedaan kampung, angkatan, bendera, pemahaman, namun kami disatukan dibawah sebuah bendera baru yang bernama Himpuanan Mahasiswa Jurusan Sejarah atau HMJ Sejarah.

Kata-kata lembut seorang dosen paruh baya mulai menghiasi ruangan sidang siang itu, dia adalah Dr. Aisiah, merupakan dosen yang tergolong muda namun penuh prestasi yang dimilki oleh Jurusan Sejarah ini, adalah sebuah kebangaan dapat bertemu dan bertanya lansung kepada orang seperti Buk Ai kami memanggilnya. Dia menanamkan konsep-konsep, nilai-nilai yang harus kami miliki sebagai mahasiswa dan seorang aktivis. Pengalaman beliau sangatlah banyak, merupakan seorang aktivis dimasanya, konsisten, tepat waktu dan berkomitmen tinggi adalah pelajaran yang paling besar yang kami dapatkan dari seorang Dr. Aisiah diruangan itu.

Hari beranjak siang, lantuanan kebesar Ilahi menggema diluar sana, sejenak kami tundukan kepala ini dan beristirahat, acara akan dilanjutkan selesai sholat dan makan siang. Stamina kami yang sudah terisi kembali disambut dengan kata-kata “kawan-kawan” oleh seorang pemateri yang tidak asing lagi  bagi kami, dia adalah seorang senior yang penuh dengan kata-kata mutiara, yang selalu menjadikan tempat duduk sebagai kesempatan untuk berdiskusi, Bg ferdi kami memanggilnya, nama lengkapnya Ferdi Andika, S.Pd. Lagi-lagi kami dibakar dengan kata-kata “HMJ ini tanggung jawab kawan-kawan kedepannya”, kata-kata itu masuk kedalam lubuk hati paling dalam dan bersembunyi disana, tanpa memberi harapan lagi untuk keluar.

Notifikasi pemberitahuan pesan masuk melalui WA membangunkan saya subuh itu, jam menunjukan setengah enam pagi. Saya bersiap untuk melanjutkan kembali kegiatan Upgrading hari ini, kegitan hari ini terasa lebih menarik, karena acaranya berupa out bont yang akan dilaksanakan di tepi pantai, sebuah tempat yang paling cocok menjadi teman dikala hati ini penuh gundah dan gelisah, ya…. pantai adalah teman yang paling setia dan kekasih yang paling tulus.

Kami telah berada di lokasi, tepatnya di Pantai Batu, Muaro Penyalinan Pasir Jambak, seperti biasa kegiatan dimulai dengan berdoa bersama dan dilanjutkan dengan berbagai macam permainan yang dipandu oleh Bg Jo dan Bg Ferdi. Cuaca hari ini kurang bersahabat, jauh disana awan-awan hitam telah tersenyum kepada kami bahwa sebentar lagi dia akan mengirimkan hujan, lautpun berbisik bahwa sebentar lagi badai akan mengahantam. Benar saja, tidak lama setelah itu hujanpun membasahi bumi, badai dari arah laut menyapa kami dengan penuh keperkasaan, namun kami tidak takut, kami tetap berada diposisi semula, kami tidak berteduh, karena kami yakin pelangi yang indah itu akan hadir setelah hujan.

Ditemani dengan rintikan hujan yang deras, memasahi sekujur tubuh kami, angin kencang yang berhembus membuat tubuh ini menggigil kedinginan, jari jemari kami memucat kedinginan, namun jiwa dan hati kami tetap panas dan hangat, disitu kami yakin bahwa pelangi saat itu sudah bersinar di Jiwa ini. Kami sudah dipenghujung acara, namun hujan belum mengalah, Bg Jo dan Bg Ferdi menyuruh kami duduk melingkar saling membelakangi, kami disuruh memilih satu angka dari keseluruhan jumlah kami, apabila kami mengambil angka yang sama satu dengan yang lain, kami disuruh mengulang kembali dan itu berlangsung sekian lama dibawah guyuran hujan yang semakin deras dan dingin.

Dengan penuh kebersamaan, akhirnya permainan ini dapat kami selesaikan dengan baik, disini kami semua sejenak menakurkan kepala, kami mendapatkan banyak hal, kami memperoleh sesuatu yang belum tentu kami dapatkan di kelas. Kami baru sadar bahwa kami adalah satu kesatuan, kami adalah keluarga, dan kami adalah sebuah sistem, kami sadar, kami tidak sama, namun kami adalah satu. Hati ini kembali terikat dengan sebuah janji untuk berbuat demi HMJ dengan menandatangani Pakta Integritas diatas sebuah kertas putih yang didahului dengan sebuah pengakuan “kami sadar sesadar-sadarnya, kami akan berbuat, mengabdi, bekerja dan akan menjadikan HMJ ini kedepannya jauh lebih baik lagi”.


Kota Padang, 24/25 Februari 2018

………..RANDA……….
Read more...

Kamis, 22 Februari 2018

SEPENGGAL KISAH DARI CAIRO SEBUAH KOTA INDAH DIPINGGIR SUNGAI NIL

0 komentar
Seorang Syekh yang bijak dan alim lagi berjalan-jalan santai bersama salah seorang di antara murid-muridnya di sebuah taman…


Di tengah-tengah asyik berjalan sambil bercerita, keduanya melihat sepasang sepatu yang sudah usang lagi lusuh. Mereka berdua yakin kalau itu adalah sepatu milik pekerja kebun yang bertugas di sana, yang sebentar lagi akan segera menyelesaikan pekerjaannya.


Sang murid melihat kepada syekhnya sambil berujar:


“Bagaimana kalau kita candai tukang kebun ini dengan menyembunyikan sepatunya, kemudian kita bersembunyi di belakang pohon-pohon? Nanti ketika dia datang untuk memakai sepatunya kembali, ia akan kehilangannya. Kita lihat bagaimana dia kaget dan cemas!”


Syekh yang alim dan bijak itu menjawab:


“Ananda, tidak pantas kita menghibur diri dengan mengorbankan orang miskin. Kamu kan seorang yang kaya, dan kamu bisa saja menambah kebahagiaan untuk dirinya. Sekarang kamu coba memasukkan beberapa lembar uang kertas ke dalam sepatunya, kemudian kamu saksikan bagaimana respon dari tukang kebun miskin itu”.


Sang murid sangat takjub dengan usulan gurunya. Dia langsung saja berjalan dan memasukkan beberapa lembar uang ke dalam sepatu tukang kebun itu. Setelah itu ia bersembunyi di balik semak-semak bersama gurunya sambil mengintip apa yang akan terjadi dengan tukang kebun.


Tidak beberapa lama datanglah pekerja miskin itu sambil mengibas-ngibaskan kotoran dari pakaiannya. Dia menuju tempat sepatunya ia tinggalkan sebelum bekerja. Ketika ia mulai memasukkan kakinya ke dalam sepatu, ia menjadi terperanjat, karena ada sesuatu di dalamnya. Saat ia keluarkan ternyata…….uang. Dia memeriksa sepatu yang satunya lagi, ternyata juga berisi uang. Dia memandangi uang itu berulang-ulang, seolah-olah ia tidak percaya dengan penglihatannya.


Setelah ia memutar pandangannya ke segala penjuru ia tidak melihat seorangpun. Selanjutnya ia memasukkan uang itu ke dalam sakunya, lalu ia berlutut sambil melihat ke langit dan menangis. Dia berteriak dengan suara tinggi, seolah-olah ia bicara kepada Allah ar rozzaq :


“Aku bersyukur kepada-Mu wahai Robbku. Wahai Yang Maha Tahu bahwa istriku lagi sakit dan anak-anakku lagi kelaparan.

Mereka belum mendapatkan makanan hari ini.

Engkau telah menyelamatkanku, anak-anak dan istriku dari celaka”.


Dia terus menangis dalam waktu cukup lama sambil memandangi langit sebagai ungkapan rasa syukurnya atas karunia dari Allah Yang Maha Pemurah. Sang murid sangat terharu dengan pemandangan yang ia lihat di balik persembunyiannya. Air matanya meleleh tanpa dapat ia bendung.


Ketika itu Syekh yang bijak tersebut memasukkan pelajaran kepada muridnya :


“Bukankah sekarang kamu merasakan kebahagiaan yang lebih dari pada kamu melakukan usulan pertama dengan menyembunyikan sepatu tukang kebun miskin itu?”


Sang murid menjawab:


“Aku sudah mendapatkan pelajaran yang tidak akan mungkin aku lupakan seumur hidupku. Sekarang aku baru paham makna kalimat yang dulu belum aku pahami sepanjang hidupku:

“Ketika kamu memberi kamu akan mendapatkan kebahagiaan yang lebih banyak dari pada kamu mengambil”.


Sang guru melanjutkan pelajarannya.

Dan sekarang ketahuilah bahwa pemberian itu bermacam-macam :


• Memaafkan kesalahan orang di saat mampu melakukan balas dendam adalah suatu pemberian.


• Mendo’akan temanmu muslim di belakangnya (tanpa sepengatahuannya) itu adalah suatu pemberian.


• Berusaha berbaik sangka dan menghilangkan prasangka buruk darinya juga suatu pemberian.


• Menahan diri dari membicarakan aib saudaramu di belakangnya adalah pemberian lagi.


Ini semua adalah pemberian, supaya kesempatan memberi tidak dimonopoli oleh orang-orang kaya saja. jadikanlah semua ini pelajaran.


Sumber: Kajian Kisah dan Sejarah Islam via Status Nasehat yang diakses dari www.kisahislam.net, Pada tanggal 22/2/2018 Jam 18.45 WIB
Read more...

Rabu, 21 Februari 2018

Atap Sumatera (Melangkah Di Puncak Kerinci)

0 komentar

oleh :
Randa (Sejarah '15 UNP)

Kerikil-kerikil kecil disekitar kami berbisik menyeru agar kami segera turun secara perlahan, angin badai yang datang dari selatan menghantam tenda kami, frame-frame penunjang tenda kami patah dan retak, udara dingin masuk melalui sela-sela jacket, sarung tangan, kaus kaki, penutup kepala hingga sampai di paru-paru dan membuat sekujur tubuh ini menggigil seketika. Suasana yang penuh ketegangan ini mebuat saya sadar, bahwa detik ini saya berdiri di Atap Sumatera, inilah Gunug Kerinci.
Bismillahhirrahmaanirrahim… Penunjuk waktu Swiss Army yang meililit di pergelangan tangan kiri saya menunjukan jam 13:00 WIB, dengan menggunakan sepeda motor, saya dengan beberapa orang teman memulai perjalanan dari Kota Padang menuju Sekepal Tanah Syurga di lereng gunung Kerinci yaitu Kabupaten Kerinci. Berjalan dibawah terik matahari, panas membakar kulit, bising lalu lintas jalan raya membuat telinga berjuang keras untuk memilah mana yang harus didengar mana yang tidak. Masyarakat kota Padang masih terlena dengan suasana tahun baru, Kamis 4 Januari 2018, membuat jalan raya penuh sesak oleh kendaraan roda dua maupun roda empat.
Selang bebarapa waktu perjalan, kami sejenak berhenti di Simpang Haru menunggu dua orang teman yang pergi menjemput carrel ke kost temannya, beberapa menit kemudian perjalanan kami lanjutkan membelah kota Padang melalui jalur baypas, saat ini kami berada di jalur Sitinjau Laut, jalur yang terkenal dengan tanjakan ekstrimnya, tak terhitung lagi jumlah kecelakaan yang terjadi disini. Kami begitu terkejut saat salah seorang dari kami memintak untuk berhenti, setelah kendaraan kami pinggirkan di jalan raya, dia sibuk memeriksa tas, kantong, celana dan jok motor, kami hanya bisa menyaksikan dengan penuh penasaran, suasana tak menentu ini peceh ketika dia berkata “hp nokia saya mana”. Ternyata dia kehilangan hp, flassback kebelakang ternyata hp-nya tinggal ketika kami beristirahat tadi di simpang Haru. Dengan mempertimbangkan jauhnya rute yang akan kami lalui, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan tanpa balik ke belakang mencari hp-nya, kerut keningnya menampakan dia ikhlas namun terpaksa, seperti seekor anak kucing yang ingin menyusu kepada induknya, namun sang induk menolak bahkan memarahinya.
Kami memacu kendaraan dengan cepat, melintasi rute Sitinjau Laut yang penuh dengan misteri, selang-seling berpapasan dengan kendaraan besar, truk-truk besar membawa hasil-hasil industri dari arah berlawanan, ada yang melaju bagaikan halilintar ada juga yang merangkak layaknya keong, suasana dingin ditutupi kabut menjelang sore sehingga kami harus sangat hati-hati karena jarak pandang yang terbatas. Disela-sela kabut yang menyelimuti perjalanan kami, kami menyaksikan kota Padang dari ketinggian, kedap-kedip lampu jalan kota Padang terbentang secara horizontal, hingga terbentuk sebuah pelangi darat yang begitu indah.
Perjalanan masih panjang, saat ini kami sudah memasuki Kabupaten Solok, azan magrib telah menyeru kami berhenti sejenak di sebuah pertamina untuk melaksanakan sholat magrib dan mengisi bensin. Setelah dirasa cukup, perjalanan kami lanjutkan saat ini kami melintasi jalan raya Solok-Solok Selatan-Kerinci, kami memasuki kawasan Kebun Teh Alahan Panjang, berjalan ditengah-tengah kebun teh layaknya berjalan di Antartika, udara dingin menyelinap masuk ke rongga-rongga tubuh, kendaraan kami pacu sebisanya, karena tidak kuat menahan dingin.
Kami merencanakan menginap dulu semalam di Alahan Panjang, salah seorang teman yang juga akan ikut ke Kerinci berdomisili disini, tepatnya di Bukit Sileh Kabupaten Solok. Baru saja kami sampai dirumahnya, minuman penghangat badan lansung kami mintak, maklum kami adalah tamu, kopi panas menjadi pengalih dingin sementara, seusai makan malam kami menghangatkan tubuh dengan cara berendam di kolam pemandiaan air panas yang terkenal disini, sejenak memang udara panas menjalar di seluruh tubuh ini, tapi apabila beranjak keluar dari kolam itu udara dingin lansung mengalahkan udara panas, kami pun mengigil kedinginan.
Jam menunjukan 23:00 waktunya kami mengistiraharkan raga ini, raga yang lelah berjalan seharian, kami tertidur dengan nyenyak tanpa tahu lagi apa yang terjadi. Sentuhan sendok gula pasir di pinggir gelas, menciptakan sebuah nada klasik yang nyering namun menenangkan, kami terbangun kala Swiss Army menunjukan jam 08:00 WIB pagi, saya melangkah keluar rumah, bintik-bintik cahara mentari masuk melalui flafon rumah menciptkan bayangan fatamorgana yang menyilaukan. Duduk didepan rumah, ditenami segelas teh panas, dari barat saya saksikan mentari terbit dari balik bukit barisan, cahayanya dipantulkan oleh sepasang danau kembar yaitu danau di atas dan danau di bawah, dua danau yang terletak berdekatan dan penuh dengan misteri. Pemandangan ini sangat menabjubkan, saya mengahadapkan wajah ini ke langit, dalam hati saya berbesik “inilah lukisan alam Sang Pencipta”.
Kami meninggalkan Bukit Sileh, membelah kembali jalan raya menuju tanah Kerinci. Tidak jauh dari tempat kami menginap, kami berjalan dipinggir danau kembar, pemandangan yang sangat menarik, danau yang berada di tengah-tengah perbukitan, dihiasi tebing-tebing tinggi, airnya jernih, beriak sedikti demi sedikit, menampakkan ketenagan namun menghanyutkan, begitulah keyakinan masyarakat sekitar danau. Lagi-lagi kami tidak bisa memacu kendaraan terlalu kencang, bukan karena suasana dingin lagi, namun keadaan jalan berlobang membuat kami harus sangat waspada, lengah sedikti saja fatal akibatnya.
Kami memasuki Kabupaten yang tergolong muda di provinsi Sumbar yaitu Kabupaten Solok Selatan, kabupaten yang terkenal dengan kekayaan emasnya. Kembali kami melewati rute kebun teh, yaitu kebun teh mitranya kebun teh Kayu Aro. Rute ini sedikir berbeda dari rute sebelumnya, karena rute ini menayjiakn pemandang gunung kerinci nan indah, dari sini terlihat jelas kokohnya gunung Kerinci berdiri tegak di sana, sunguh sangat menakjubkan.

Assalamu’alaikum Kerinci…
Kami memasuki kabupaten Kerinci, namun perjalanan masih panjang silih berganti suasana perjalanan, dari satu kecamatan ke kecamatan lainnya. Tanpa terasa kami sudah berada di tengah-tengah lautan hijau, laut yang membentang daratan, ombaknya dibawa oleh angin yang berhembus, inilah dia Kebun Teh Kayu Aro, kebun teh tertinggi nomor satu di dunia dan terluas nomor dua di dunia. Terbentang dari barat ke timur, selatan ke utara, sejauh mata memandang mata dimanjakan pemandangan hijau yang segar, sejuk dan tenang. Melihat luasnya kebun teh ini, saya teringat kata guru waktu di Madrasah dulu, kerajaan King Sulaiman yang begitu perkasa, istananya megah diselimuti permadani berwarna hijau, layaknya seperti yang saya lihat detik ini.
Akhirnya kami sampai di kecamatan Sulak Panjang, disini kami akan menginap selama berada di Kerinci, dirumah seorang teman, guru sekaligus lawan dalam berdebat Aseng Yulanda saya memanggilnya. Kami memberikan waktu yang cukup kepada raga ini untuk beristirahat sebelum kami memulai perjalanan baru, yaitu mentaklukan puncak tertinggi di Pulau ini, yaitu gunung Kerinci dengan ketinggian 3805 mdpl adalah misi utama perjalanan ini.
Beberapa waktu setelah sampai di keceamatan Sulak Panjang, dirasa sudah cukup segala persiapan untuk memulai pendakian mentaklukan atap Sumatera itu, Gunung Kerinci. Selasa 9 Januari 2018, tepat jam 09:00 WIB kami memulai perjalanan, namun disayangkan sekali satu orang diantara kami tidak bisa ikut mendaki karena sakit, tapi pendakian tetap kami lanjutkan. Kami mengendarai sepeda motor dari Sulak Panjang menuju jalur pendakian yaitu Tugu Macan yang terletak di kecamatan Kayu Aro. Kami menitipkan motor di salah satu warung warga yang menjadi tempat penitipan kendaraan bagi pendaki, cukup membayar 20.000 ribu saja, motor dijamain keamanannya sampai kita kembali.
Perasaan khawatir bercampur cemas mulai merasuk ke dalam jiwa saya, ini adalah pengalaman mendaki pertama dalam hidup saya, belum memiliki pengetahuan tentang gunung, belum pernah mendaki gunung-gunung yang ketinggiannya tidak setinggi gunung Kerinci, tapi saya tidak takut dan menyerah berlarut-larut, dengan semangat yang menggelora dari dalam diri, saya harus mentaklukan puncak tertinggi di Pulau Sumatera ini.
Kami memulai pendakian dengan memasuki Pintu Rimba, disini kami menemukan ucapan selamat datang bagi para pendaki, disini juga para pendaki mendapatkan informasi dan gambaran mengenai jalur pendakian melalui spanduk yang ditempelkan di pintu rimba. Beberapa saat perjalanan dari pintu Rimba, melewati jalur yang masih datar, belum terlalu menanjak, namun udara dingin dan basah pegunungan sudah mulai terasa, bisik-bisik penghuni rimba menjadi hiburan kami selama perjalanan, jalur yang basah, becek, berlumpur adalah tantangan tersendiri, ketika raga ini mulai mengeluh, otot-otot kaki mulai memberontak, paru-paru tak karuan mengluarkan nafas, semua memintak untuk berhenti dan kemabali. Namun disisi lain, jiwa berkata “kamu harus mampu”, semangat semacam itu terus dilontarkan oleh jiwa ini, hingga terjadi tawar menawar dalam diri.
Sesudah melewati perjalanan dari Pintu Rimba, kami sampai di pos  pertama, Bangku Panjang demikian masyarakat menamainya, ketinggian disini mencapai 1890 mdpl, sudah cukup tinggi. Kami sejenak beristirahat sambil minum air, mengumpulkan kembali tenaga untuk melanjutkan pendakian, semua nampak capek, letih, sakit, kram namun dibalik wajah-wajah kecapek an itu tersimpan semangat yang besar.

Dengan semangat dan tenaga yang tersisa kami melanjutkan pendakian untuk menuju pos  kedua yang berjarak lebih kurang 750 m dari pos ke pertama. Kami terus bergerak mendaki, jalur pendakian sudah mulai agak menantang, tanjakan-tanjakan selalu berada di depan kami, tak jarang diantara kami banyak yang memintak untuk beristirahat sejenak di jalan. Tidak lama dari pos pertama akhirnya kami sampai di pos kedua yaitu pos Batu Lumut, ketinggian disini mencapai 2010 mdpl, sungguh sangat tinggi. Disini kami berhenti agak lama, karena kami menunggu beberapa orang teman yang jauh tertinggal di belakang, maklumi saja tanjakannya sudah mulai menantang.
Semua sudah berada di pos kedua, semua sudah minum air, semuapun sudah kembali menemukan tenaganya, pendakian kami lanjutkan. Semakin tinggi kami mendaki maka jalurnya pun semakin tajam dan ekstrim, butuh tenaga lebih, stamina yang prima untuk dapat melanjutkan pendakian ini, diantara kami berjalan layaknya keong, walaupun ada satu atau dua yang agak lebih cepat. Diperjalanan dari pos kedua menuju pos ke tiga, ada satu kejadian yang tidak akan pernah saya lupakan sebagai pengalaman mendaki pertama dalam hindup saya, dimana saya harus kembali beberapa meter kebawah menjemput alat masak yang tertinggal oleh saya. Kejadian ini bermula ketika salah seorang diantara kami mengalami kram dibagian kaki kirinya, maka dengan cepat saya membantunya, setelah selesai kami melanjutkan perjalanan, saya baru sadar setelah lebih kurang 30 menit perjalanan bahwa alat masak tertinggal, dan saya pun harus kembali menjemputnya, saya turun sambil berlari, dihantui bayang-bayang tersesat dirimba karena saya adalah pendatang, akhirnya alat masak itu saya temukan dan saya kembali kedalam rombongan. Selang beberapa jam kami sampai di pos ke tiga (saya lupa nama pos dan ketinggiannya), disini kami bertemu dengan pendaki lain yang berasal dari Medan, Pekanbaru dan Surabaya. Kami berhenti dan membuat kopi panas, karena udara sudah sangat dingin.
Kami melanjutkan perjalanan menuju Shalter 1, disana kami merencanakan mendirikan tenda dan istirahat mala ini, rute menuju Shalter 1 sangat melelahkan, licin, penuh tanjakan dan terkadang membahayakan, tepat 17:35 kami sampai di Shalter 1 dengan ketinggian 2505 mdpl, disini kami berjumpa dengan pendaki lainnya, ada yang mau naik dan ada yang mau turun, kami mendirikan tenda secepatnya karena diatas sana awan hitam telah memberi kode kalau hari mau hujan. Benar saja baru saja tenda selesai kami dirikan rintik hujan mulai membasahi Shalter 1, udara dingin tidak terbendung, angin pun tak memihak kami, dia datang sari segala penjuru hingga menambah suasana dingin. Saya masuk ke dalam tenda, memakai kaus kaki, sarung tangan, jacket dan baju berlapis namun tak sedikitpun mengusir hawa dingin ini.
Dari kejahuan saya melihat mentari mulai bersembunyi dibalik puncak gunung Kerinci, malam pun datang dengan kegelapan dan kedinginannya, Bulan dibuat mengalah oleh awan hitam yang berkuasa malam ini, langit dunia hampa, tanpa bulan tanpa bintang satupun malam ini, sunyi, lembab, gelap, dingin, begitu hampa malam ini. Setelah kami makan malam dengan racikan apa adanya kami beristirahat untuk melanjutkan pendakian di esok harinya.
Kami kembali melanjutkan pendakian, meninggalkan Shalter 1 menuju Shalter 2, lagi-lagi tracknya sungguh sangat melelahkan, jalanya licin, berlumpur, terkadang kami hanya bergantung kepada akar-akar pohon sebagai gantungan dan pijakan kami, salah memilih pijakan maka akibatnya fatal. Berjalan di tengah rimba yang terrnasuk ke dalam kawasan Taman Nasional membuat kecemasan kami berlipat ganda, karena dimana saja kawasan Taman Nasional, artinya tempat itu adalah rumah bagi Sang Raja hutan. Melewati tanjakan tajam, pohon-pohon besar, akar-akar kayu, ditambah lagi dengan udara dingin yang menusuk tulang membuat kami cepat kehilangan tenaga, bibir mulai kering dan pecah-pecah, ujung jari mulai mati rasa, telinga mulai mendengung tanda mereka sudah mulai kelelahan, tapi perjalanan belum berakhir, kami harus mencapai Shalter 2 secepatnya.
Dengan langkah goyah, dari kejahuan saya menyaksikan udara terang diatas sana, saya yakin itu adalah Shalter 2, dengan semangat tinggi saya terus mengejar cahaya itu, namun semakin saya kejar semakin jauh dia berlari, dengan langkah seperti keong, akhirnya kami sampai di Shalter 2. Namun ketika sampai di Sahlter 2 kami kehabisan air, dengan harapan di Shalter 2 ini ada sumber air terdekat, tapi setelah beberapa orang diantara kami berusaha mencari air, air tidak kami temukan. Dengan bekal apa adanya, kami melanjutkan pendakian menuju Shalter 3.
Pendakian menuju Shalter 3 adalah yang terberat, kami harus memanjat tebing, melewati akar pohon, merunduk dibawah batang pohon yang tumbang, bergantungan dan saling tarik menarik, melewati jalur yang gelap karena tidak tembus cahaya mentari. Kami terus melangkah sedikti demi sedikit, diperjalanan menuju Shalter 3 kami berjumpa dengan pendaki dari Singapura, mereka mau turun. Sekitar jam 16:00 WIB akhirnya kami sampai di Shalter 3 dan puncak gunung Kerinci. Saya merasakan tubuh saya tidak kuat lagi, udara dingin dan bau belerang sudah mulai masuk kedalam paru-paru, bibir sudah pecah-pecah, ujung tangan, ujung kaki, lutu, paha, hidung semuanya lelah, sehingga membuat badan ini pusing, kepala terasa sakit dan diiringi rasa mual. Setelah tenda didirikan saya lansung masuk ke tenda dan beristirahat sejenak tanpa menyaksikan pemandangan terlebih dahulu.
Sayup-sayup saya mendengar canda dan tawa teman-teman dibalik tenda, dengan tubuh yang belum kembali fit seperti semula, saya paksakan kaki ini melangkah ke luar tenda, alangkah kagetnya saya menyaksikan apa yang ada di depan mata ini..
Alhamdulillahhirabbila’alamin… saya sudah berada di Puncak Sumatera, Puncak gunung Kerinci, gunung tertinggi di Pulau ini. Saya saksikan sekeliling saya pemandangan yang begitu menakjubkan, indah, luar biasa. Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh terlihat jelas dibawah sana, lautan hijaun Kayu Aro memaparkan permadani keindahannya, danau gunung Tujuh disebelah sana terlihat bagaikan telaga al-Kautsar di Syurga, airnya jernih, memantulkan cahaya kemerahan sang mentari yang sudah mulai kembali bersembunyi di balik puncak ini.
Saya langkahkan kaki menjahui teman-teman yang sedang asyik berfoto, sejenak saya hadapkan wajah ini memandang alam lepas, perbukitan terhampar seperti ombak di pantai, awan putih yang jernih berada dibawah kaki saya, perkebunan warga, rumah-rumah warga, danau dan semuanya terlihat jelas dengan indah disini, seketika mata saya berkaca-kaca dan tak terbendung lagi, akhir mutiara yang saya simpan dibalik sepasang kelopak mata itupun jatuh berderai memasahi pipi, saya begitu takjub melihat keindahan lukisan alam karya Sang Pencipta, hilang semua keegoan dalam diri, runtuh semua kebahagian duniawi, hancur lebur hati ini, tatkala saya mengingat kesalahan, kesombongan dan kekufuran selama ini, ampuni hamba Ya Rabbi, hati saya merintih.
Saya bersyukur sedalam-dalamnya, kata-kata Alhamdulillah tak putus-putus saya utarakan, Tuhan memberikan saya kesempatan untuk menyaksikan ciptaan-Nya dari ketinggian 3805 mdpl disini, memang Dia lah yang Maha Tinggi, Maha Agung, Maha Perkasa, Maha Kaya, Maha Pencipta dan Maha Segala-galanya. Sedangkan manusia hanyalah makhluk lemah yang tak dapat berbuat apa-apa kecuali atas izinya, manusia hanya satu dari sekian banyak makhluk yang diciptakan-Nya, manusia hanyalah seorang hamba yang seharusnya setiap saat mengingat Kebersaran Rabbi, selalu bersyukur dan bertawaduk.
Disaat saya semakin memaknai apa yang ada didepan saya, bentangan alam yang begitu luas, indah, cantik dan menakjubkan saya teringat pesan orang tua:
“Gunung adalah cipataan tuhan yang paling tinggi, tapi manusia adalah ciptaan tuhan yang paling sempurna.
Maka gunakanlah kesempurnaan itu untuk mentaklukan ketinggian”
Hari ini adalah hari yang bersejarah dalam hidup saya, Kamis 11 Januari 2018 dengan pengalaman pertama mendaki dalam hidup ini, saya telah berhasil melangkahkan kaki di Atap Sumatera dan mentaklukannya dan tentunya ini tidak akan pernah terlupakan…








…………Melangkah di Atap Sumatera…………
Kerinci, 11 Januair 2018

Read more...
 
HMJ Sejarah UNP © 2017-2018