oleh :
Randa (Sejarah '15 UNP)
Kerikil-kerikil
kecil disekitar kami berbisik menyeru agar kami segera turun secara perlahan, angin
badai yang datang dari selatan menghantam tenda kami, frame-frame penunjang
tenda kami patah dan retak, udara dingin masuk melalui sela-sela jacket, sarung
tangan, kaus kaki, penutup kepala hingga sampai di paru-paru dan membuat
sekujur tubuh ini menggigil seketika. Suasana yang penuh ketegangan ini mebuat
saya sadar, bahwa detik ini saya berdiri di Atap Sumatera, inilah Gunug
Kerinci.
Bismillahhirrahmaanirrahim…
Penunjuk waktu Swiss Army yang meililit di pergelangan tangan kiri saya
menunjukan jam 13:00 WIB, dengan menggunakan sepeda motor, saya dengan beberapa
orang teman memulai perjalanan dari Kota Padang menuju Sekepal Tanah Syurga di
lereng gunung Kerinci yaitu Kabupaten Kerinci. Berjalan dibawah terik matahari,
panas membakar kulit, bising lalu lintas jalan raya membuat telinga berjuang
keras untuk memilah mana yang harus didengar mana yang tidak. Masyarakat kota
Padang masih terlena dengan suasana tahun baru, Kamis 4 Januari 2018, membuat
jalan raya penuh sesak oleh kendaraan roda dua maupun roda empat.
Selang
bebarapa waktu perjalan, kami sejenak berhenti di Simpang Haru menunggu dua
orang teman yang pergi menjemput carrel ke kost temannya, beberapa menit
kemudian perjalanan kami lanjutkan membelah kota Padang melalui jalur baypas,
saat ini kami berada di jalur Sitinjau Laut, jalur yang terkenal dengan
tanjakan ekstrimnya, tak terhitung lagi jumlah kecelakaan yang terjadi disini.
Kami begitu terkejut saat salah seorang dari kami memintak untuk berhenti,
setelah kendaraan kami pinggirkan di jalan raya, dia sibuk memeriksa tas,
kantong, celana dan jok motor, kami hanya bisa menyaksikan dengan penuh
penasaran, suasana tak menentu ini peceh ketika dia berkata “hp nokia saya
mana”. Ternyata dia kehilangan hp, flassback kebelakang ternyata hp-nya tinggal
ketika kami beristirahat tadi di simpang Haru. Dengan mempertimbangkan jauhnya
rute yang akan kami lalui, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan tanpa
balik ke belakang mencari hp-nya, kerut keningnya menampakan dia ikhlas namun
terpaksa, seperti seekor anak kucing yang ingin menyusu kepada induknya, namun
sang induk menolak bahkan memarahinya.
Kami
memacu kendaraan dengan cepat, melintasi rute Sitinjau Laut yang penuh dengan
misteri, selang-seling berpapasan dengan kendaraan besar, truk-truk besar
membawa hasil-hasil industri dari arah berlawanan, ada yang melaju bagaikan
halilintar ada juga yang merangkak layaknya keong, suasana dingin ditutupi
kabut menjelang sore sehingga kami harus sangat hati-hati karena jarak pandang
yang terbatas. Disela-sela kabut yang menyelimuti perjalanan kami, kami
menyaksikan kota Padang dari ketinggian, kedap-kedip lampu jalan kota Padang
terbentang secara horizontal, hingga terbentuk sebuah pelangi darat yang begitu
indah.
Perjalanan
masih panjang, saat ini kami sudah memasuki Kabupaten Solok, azan magrib telah
menyeru kami berhenti sejenak di sebuah pertamina untuk melaksanakan sholat
magrib dan mengisi bensin. Setelah dirasa cukup, perjalanan kami lanjutkan saat
ini kami melintasi jalan raya Solok-Solok Selatan-Kerinci, kami memasuki
kawasan Kebun Teh Alahan Panjang, berjalan ditengah-tengah kebun teh layaknya
berjalan di Antartika, udara dingin menyelinap masuk ke rongga-rongga tubuh,
kendaraan kami pacu sebisanya, karena tidak kuat menahan dingin.
Kami
merencanakan menginap dulu semalam di Alahan Panjang, salah seorang teman yang
juga akan ikut ke Kerinci berdomisili disini, tepatnya di Bukit Sileh Kabupaten
Solok. Baru saja kami sampai dirumahnya, minuman penghangat badan lansung kami
mintak, maklum kami adalah tamu, kopi panas menjadi pengalih dingin sementara,
seusai makan malam kami menghangatkan tubuh dengan cara berendam di kolam
pemandiaan air panas yang terkenal disini, sejenak memang udara panas menjalar
di seluruh tubuh ini, tapi apabila beranjak keluar dari kolam itu udara dingin
lansung mengalahkan udara panas, kami pun mengigil kedinginan.
Jam
menunjukan 23:00 waktunya kami mengistiraharkan raga ini, raga yang lelah
berjalan seharian, kami tertidur dengan nyenyak tanpa tahu lagi apa yang
terjadi. Sentuhan sendok gula pasir di pinggir gelas, menciptakan sebuah nada
klasik yang nyering namun menenangkan, kami terbangun kala Swiss Army
menunjukan jam 08:00 WIB pagi, saya melangkah keluar rumah, bintik-bintik
cahara mentari masuk melalui flafon rumah menciptkan bayangan fatamorgana yang
menyilaukan. Duduk didepan rumah, ditenami segelas teh panas, dari barat saya
saksikan mentari terbit dari balik bukit barisan, cahayanya dipantulkan oleh
sepasang danau kembar yaitu danau di atas dan danau di bawah, dua danau yang
terletak berdekatan dan penuh dengan misteri. Pemandangan ini sangat
menabjubkan, saya mengahadapkan wajah ini ke langit, dalam hati saya berbesik
“inilah lukisan alam Sang Pencipta”.
Kami
meninggalkan Bukit Sileh, membelah kembali jalan raya menuju tanah Kerinci.
Tidak jauh dari tempat kami menginap, kami berjalan dipinggir danau kembar,
pemandangan yang sangat menarik, danau yang berada di tengah-tengah perbukitan,
dihiasi tebing-tebing tinggi, airnya jernih, beriak sedikti demi sedikit,
menampakkan ketenagan namun menghanyutkan, begitulah keyakinan masyarakat
sekitar danau. Lagi-lagi kami tidak bisa memacu kendaraan terlalu kencang,
bukan karena suasana dingin lagi, namun keadaan jalan berlobang membuat kami
harus sangat waspada, lengah sedikti saja fatal akibatnya.
Kami
memasuki Kabupaten yang tergolong muda di provinsi Sumbar yaitu Kabupaten Solok
Selatan, kabupaten yang terkenal dengan kekayaan emasnya. Kembali kami melewati
rute kebun teh, yaitu kebun teh mitranya kebun teh Kayu Aro. Rute ini sedikir
berbeda dari rute sebelumnya, karena rute ini menayjiakn pemandang gunung
kerinci nan indah, dari sini terlihat jelas kokohnya gunung Kerinci berdiri
tegak di sana, sunguh sangat menakjubkan.
Assalamu’alaikum Kerinci…
Kami
memasuki kabupaten Kerinci, namun perjalanan masih panjang silih berganti
suasana perjalanan, dari satu kecamatan ke kecamatan lainnya. Tanpa terasa kami
sudah berada di tengah-tengah lautan hijau, laut yang membentang daratan,
ombaknya dibawa oleh angin yang berhembus, inilah dia Kebun Teh Kayu Aro, kebun
teh tertinggi nomor satu di dunia dan terluas nomor dua di dunia. Terbentang
dari barat ke timur, selatan ke utara, sejauh mata memandang mata dimanjakan
pemandangan hijau yang segar, sejuk dan tenang. Melihat luasnya kebun teh ini,
saya teringat kata guru waktu di Madrasah dulu, kerajaan King Sulaiman yang
begitu perkasa, istananya megah diselimuti permadani berwarna hijau, layaknya
seperti yang saya lihat detik ini.
Akhirnya
kami sampai di kecamatan Sulak Panjang, disini kami akan menginap selama berada
di Kerinci, dirumah seorang teman, guru sekaligus lawan dalam berdebat Aseng Yulanda saya memanggilnya. Kami
memberikan waktu yang cukup kepada raga ini untuk beristirahat sebelum kami
memulai perjalanan baru, yaitu mentaklukan puncak tertinggi di Pulau ini, yaitu
gunung Kerinci dengan ketinggian 3805 mdpl adalah misi utama perjalanan ini.
Beberapa
waktu setelah sampai di keceamatan Sulak Panjang, dirasa sudah cukup segala
persiapan untuk memulai pendakian mentaklukan atap Sumatera itu, Gunung
Kerinci. Selasa 9 Januari 2018, tepat jam 09:00 WIB kami memulai perjalanan,
namun disayangkan sekali satu orang diantara kami tidak bisa ikut mendaki
karena sakit, tapi pendakian tetap kami lanjutkan. Kami mengendarai sepeda
motor dari Sulak Panjang menuju jalur pendakian yaitu Tugu Macan yang terletak
di kecamatan Kayu Aro. Kami menitipkan motor di salah satu warung warga yang
menjadi tempat penitipan kendaraan bagi pendaki, cukup membayar 20.000 ribu
saja, motor dijamain keamanannya sampai kita kembali.
Perasaan
khawatir bercampur cemas mulai merasuk ke dalam jiwa saya, ini adalah
pengalaman mendaki pertama dalam hidup saya, belum memiliki pengetahuan tentang
gunung, belum pernah mendaki gunung-gunung yang ketinggiannya tidak setinggi
gunung Kerinci, tapi saya tidak takut dan menyerah berlarut-larut, dengan
semangat yang menggelora dari dalam diri, saya harus mentaklukan puncak
tertinggi di Pulau Sumatera ini.
Kami
memulai pendakian dengan memasuki Pintu Rimba, disini kami menemukan ucapan
selamat datang bagi para pendaki, disini juga para pendaki mendapatkan
informasi dan gambaran mengenai jalur pendakian melalui spanduk yang
ditempelkan di pintu rimba. Beberapa saat perjalanan dari pintu Rimba, melewati
jalur yang masih datar, belum terlalu menanjak, namun udara dingin dan basah
pegunungan sudah mulai terasa, bisik-bisik penghuni rimba menjadi hiburan kami
selama perjalanan, jalur yang basah, becek, berlumpur adalah tantangan
tersendiri, ketika raga ini mulai mengeluh, otot-otot kaki mulai memberontak,
paru-paru tak karuan mengluarkan nafas, semua memintak untuk berhenti dan
kemabali. Namun disisi lain, jiwa berkata “kamu harus mampu”, semangat semacam
itu terus dilontarkan oleh jiwa ini, hingga terjadi tawar menawar dalam diri.
Sesudah
melewati perjalanan dari Pintu Rimba, kami sampai di pos pertama, Bangku Panjang demikian masyarakat
menamainya, ketinggian disini mencapai 1890 mdpl, sudah cukup tinggi. Kami
sejenak beristirahat sambil minum air, mengumpulkan kembali tenaga untuk
melanjutkan pendakian, semua nampak capek, letih, sakit, kram namun dibalik
wajah-wajah kecapek an itu tersimpan semangat yang besar.
Dengan
semangat dan tenaga yang tersisa kami melanjutkan pendakian untuk menuju
pos kedua yang berjarak lebih kurang 750
m dari pos ke pertama. Kami terus bergerak mendaki, jalur pendakian sudah mulai
agak menantang, tanjakan-tanjakan selalu berada di depan kami, tak jarang
diantara kami banyak yang memintak untuk beristirahat sejenak di jalan. Tidak
lama dari pos pertama akhirnya kami sampai di pos kedua yaitu pos Batu Lumut, ketinggian
disini mencapai 2010 mdpl, sungguh sangat tinggi. Disini kami berhenti agak
lama, karena kami menunggu beberapa orang teman yang jauh tertinggal di
belakang, maklumi saja tanjakannya sudah mulai menantang.
Semua
sudah berada di pos kedua, semua sudah minum air, semuapun sudah kembali
menemukan tenaganya, pendakian kami lanjutkan. Semakin tinggi kami mendaki maka
jalurnya pun semakin tajam dan ekstrim, butuh tenaga lebih, stamina yang prima
untuk dapat melanjutkan pendakian ini, diantara kami berjalan layaknya keong,
walaupun ada satu atau dua yang agak lebih cepat. Diperjalanan dari pos kedua
menuju pos ke tiga, ada satu kejadian yang tidak akan pernah saya lupakan
sebagai pengalaman mendaki pertama dalam hindup saya, dimana saya harus kembali
beberapa meter kebawah menjemput alat masak yang tertinggal oleh saya. Kejadian
ini bermula ketika salah seorang diantara kami mengalami kram dibagian kaki
kirinya, maka dengan cepat saya membantunya, setelah selesai kami melanjutkan
perjalanan, saya baru sadar setelah lebih kurang 30 menit perjalanan bahwa alat
masak tertinggal, dan saya pun harus kembali menjemputnya, saya turun sambil
berlari, dihantui bayang-bayang tersesat dirimba karena saya adalah pendatang,
akhirnya alat masak itu saya temukan dan saya kembali kedalam rombongan. Selang
beberapa jam kami sampai di pos ke tiga (saya lupa nama pos dan ketinggiannya),
disini kami bertemu dengan pendaki lain yang berasal dari Medan, Pekanbaru dan
Surabaya. Kami berhenti dan membuat kopi panas, karena udara sudah sangat
dingin.
Kami
melanjutkan perjalanan menuju Shalter 1, disana kami merencanakan mendirikan
tenda dan istirahat mala ini, rute menuju Shalter 1 sangat melelahkan, licin,
penuh tanjakan dan terkadang membahayakan, tepat 17:35 kami sampai di Shalter 1
dengan ketinggian 2505 mdpl, disini kami berjumpa dengan pendaki lainnya, ada
yang mau naik dan ada yang mau turun, kami mendirikan tenda secepatnya karena
diatas sana awan hitam telah memberi kode kalau hari mau hujan. Benar saja baru
saja tenda selesai kami dirikan rintik hujan mulai membasahi Shalter 1, udara
dingin tidak terbendung, angin pun tak memihak kami, dia datang sari segala
penjuru hingga menambah suasana dingin. Saya masuk ke dalam tenda, memakai kaus
kaki, sarung tangan, jacket dan baju berlapis namun tak sedikitpun mengusir
hawa dingin ini.
Dari
kejahuan saya melihat mentari mulai bersembunyi dibalik puncak gunung Kerinci,
malam pun datang dengan kegelapan dan kedinginannya, Bulan dibuat mengalah oleh
awan hitam yang berkuasa malam ini, langit dunia hampa, tanpa bulan tanpa bintang
satupun malam ini, sunyi, lembab, gelap, dingin, begitu hampa malam ini.
Setelah kami makan malam dengan racikan apa adanya kami beristirahat untuk
melanjutkan pendakian di esok harinya.
Kami
kembali melanjutkan pendakian, meninggalkan Shalter 1 menuju Shalter 2,
lagi-lagi tracknya sungguh sangat melelahkan, jalanya licin, berlumpur,
terkadang kami hanya bergantung kepada akar-akar pohon sebagai gantungan dan
pijakan kami, salah memilih pijakan maka akibatnya fatal. Berjalan di tengah
rimba yang terrnasuk ke dalam kawasan Taman Nasional membuat kecemasan kami
berlipat ganda, karena dimana saja kawasan Taman Nasional, artinya tempat itu
adalah rumah bagi Sang Raja hutan. Melewati tanjakan tajam, pohon-pohon besar,
akar-akar kayu, ditambah lagi dengan udara dingin yang menusuk tulang membuat
kami cepat kehilangan tenaga, bibir mulai kering dan pecah-pecah, ujung jari
mulai mati rasa, telinga mulai mendengung tanda mereka sudah mulai kelelahan,
tapi perjalanan belum berakhir, kami harus mencapai Shalter 2 secepatnya.
Dengan
langkah goyah, dari kejahuan saya menyaksikan udara terang diatas sana, saya
yakin itu adalah Shalter 2, dengan semangat tinggi saya terus mengejar cahaya
itu, namun semakin saya kejar semakin jauh dia berlari, dengan langkah seperti
keong, akhirnya kami sampai di Shalter 2. Namun ketika sampai di Sahlter 2 kami
kehabisan air, dengan harapan di Shalter 2 ini ada sumber air terdekat, tapi
setelah beberapa orang diantara kami berusaha mencari air, air tidak kami
temukan. Dengan bekal apa adanya, kami melanjutkan pendakian menuju Shalter 3.
Pendakian
menuju Shalter 3 adalah yang terberat, kami harus memanjat tebing, melewati
akar pohon, merunduk dibawah batang pohon yang tumbang, bergantungan dan saling
tarik menarik, melewati jalur yang gelap karena tidak tembus cahaya mentari. Kami
terus melangkah sedikti demi sedikit, diperjalanan menuju Shalter 3 kami
berjumpa dengan pendaki dari Singapura, mereka mau turun. Sekitar jam 16:00 WIB
akhirnya kami sampai di Shalter 3 dan puncak gunung Kerinci. Saya merasakan
tubuh saya tidak kuat lagi, udara dingin dan bau belerang sudah mulai masuk
kedalam paru-paru, bibir sudah pecah-pecah, ujung tangan, ujung kaki, lutu,
paha, hidung semuanya lelah, sehingga membuat badan ini pusing, kepala terasa sakit
dan diiringi rasa mual. Setelah tenda didirikan saya lansung masuk ke tenda dan
beristirahat sejenak tanpa menyaksikan pemandangan terlebih dahulu.
Sayup-sayup
saya mendengar canda dan tawa teman-teman dibalik tenda, dengan tubuh yang
belum kembali fit seperti semula, saya paksakan kaki ini melangkah ke luar
tenda, alangkah kagetnya saya menyaksikan apa yang ada di depan mata ini..
Alhamdulillahhirabbila’alamin…
saya sudah berada di Puncak Sumatera, Puncak gunung Kerinci, gunung tertinggi
di Pulau ini. Saya saksikan sekeliling saya pemandangan yang begitu
menakjubkan, indah, luar biasa. Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh
terlihat jelas dibawah sana, lautan hijaun Kayu Aro memaparkan permadani
keindahannya, danau gunung Tujuh disebelah sana terlihat bagaikan telaga
al-Kautsar di Syurga, airnya jernih, memantulkan cahaya kemerahan sang mentari
yang sudah mulai kembali bersembunyi di balik puncak ini.
Saya
langkahkan kaki menjahui teman-teman yang sedang asyik berfoto, sejenak saya
hadapkan wajah ini memandang alam lepas, perbukitan terhampar seperti ombak di
pantai, awan putih yang jernih berada dibawah kaki saya, perkebunan warga,
rumah-rumah warga, danau dan semuanya terlihat jelas dengan indah disini, seketika
mata saya berkaca-kaca dan tak terbendung lagi, akhir mutiara yang saya simpan
dibalik sepasang kelopak mata itupun jatuh berderai memasahi pipi, saya begitu
takjub melihat keindahan lukisan alam karya Sang Pencipta, hilang semua keegoan
dalam diri, runtuh semua kebahagian duniawi, hancur lebur hati ini, tatkala
saya mengingat kesalahan, kesombongan dan kekufuran selama ini, ampuni hamba Ya
Rabbi, hati saya merintih.
Saya
bersyukur sedalam-dalamnya, kata-kata Alhamdulillah tak putus-putus saya
utarakan, Tuhan memberikan saya kesempatan untuk menyaksikan ciptaan-Nya dari
ketinggian 3805 mdpl disini, memang Dia lah yang Maha Tinggi, Maha Agung, Maha
Perkasa, Maha Kaya, Maha Pencipta dan Maha Segala-galanya. Sedangkan manusia
hanyalah makhluk lemah yang tak dapat berbuat apa-apa kecuali atas izinya,
manusia hanya satu dari sekian banyak makhluk yang diciptakan-Nya, manusia
hanyalah seorang hamba yang seharusnya setiap saat mengingat Kebersaran Rabbi,
selalu bersyukur dan bertawaduk.
Disaat
saya semakin memaknai apa yang ada didepan saya, bentangan alam yang begitu
luas, indah, cantik dan menakjubkan saya teringat pesan orang tua:
“Gunung adalah cipataan tuhan yang paling
tinggi, tapi manusia adalah ciptaan tuhan yang paling sempurna.
Maka
gunakanlah kesempurnaan itu untuk mentaklukan ketinggian”
Hari
ini adalah hari yang bersejarah dalam hidup saya, Kamis 11 Januari 2018 dengan
pengalaman pertama mendaki dalam hidup ini, saya telah berhasil melangkahkan
kaki di Atap Sumatera dan
mentaklukannya dan tentunya ini tidak akan pernah terlupakan…
…………Melangkah
di Atap Sumatera…………
Kerinci, 11 Januair 2018
0 komentar:
Posting Komentar