Pages

Banner 468 x 60px

 

Rabu, 21 Februari 2018

Atap Sumatera (Melangkah Di Puncak Kerinci)

0 komentar

oleh :
Randa (Sejarah '15 UNP)

Kerikil-kerikil kecil disekitar kami berbisik menyeru agar kami segera turun secara perlahan, angin badai yang datang dari selatan menghantam tenda kami, frame-frame penunjang tenda kami patah dan retak, udara dingin masuk melalui sela-sela jacket, sarung tangan, kaus kaki, penutup kepala hingga sampai di paru-paru dan membuat sekujur tubuh ini menggigil seketika. Suasana yang penuh ketegangan ini mebuat saya sadar, bahwa detik ini saya berdiri di Atap Sumatera, inilah Gunug Kerinci.
Bismillahhirrahmaanirrahim… Penunjuk waktu Swiss Army yang meililit di pergelangan tangan kiri saya menunjukan jam 13:00 WIB, dengan menggunakan sepeda motor, saya dengan beberapa orang teman memulai perjalanan dari Kota Padang menuju Sekepal Tanah Syurga di lereng gunung Kerinci yaitu Kabupaten Kerinci. Berjalan dibawah terik matahari, panas membakar kulit, bising lalu lintas jalan raya membuat telinga berjuang keras untuk memilah mana yang harus didengar mana yang tidak. Masyarakat kota Padang masih terlena dengan suasana tahun baru, Kamis 4 Januari 2018, membuat jalan raya penuh sesak oleh kendaraan roda dua maupun roda empat.
Selang bebarapa waktu perjalan, kami sejenak berhenti di Simpang Haru menunggu dua orang teman yang pergi menjemput carrel ke kost temannya, beberapa menit kemudian perjalanan kami lanjutkan membelah kota Padang melalui jalur baypas, saat ini kami berada di jalur Sitinjau Laut, jalur yang terkenal dengan tanjakan ekstrimnya, tak terhitung lagi jumlah kecelakaan yang terjadi disini. Kami begitu terkejut saat salah seorang dari kami memintak untuk berhenti, setelah kendaraan kami pinggirkan di jalan raya, dia sibuk memeriksa tas, kantong, celana dan jok motor, kami hanya bisa menyaksikan dengan penuh penasaran, suasana tak menentu ini peceh ketika dia berkata “hp nokia saya mana”. Ternyata dia kehilangan hp, flassback kebelakang ternyata hp-nya tinggal ketika kami beristirahat tadi di simpang Haru. Dengan mempertimbangkan jauhnya rute yang akan kami lalui, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan tanpa balik ke belakang mencari hp-nya, kerut keningnya menampakan dia ikhlas namun terpaksa, seperti seekor anak kucing yang ingin menyusu kepada induknya, namun sang induk menolak bahkan memarahinya.
Kami memacu kendaraan dengan cepat, melintasi rute Sitinjau Laut yang penuh dengan misteri, selang-seling berpapasan dengan kendaraan besar, truk-truk besar membawa hasil-hasil industri dari arah berlawanan, ada yang melaju bagaikan halilintar ada juga yang merangkak layaknya keong, suasana dingin ditutupi kabut menjelang sore sehingga kami harus sangat hati-hati karena jarak pandang yang terbatas. Disela-sela kabut yang menyelimuti perjalanan kami, kami menyaksikan kota Padang dari ketinggian, kedap-kedip lampu jalan kota Padang terbentang secara horizontal, hingga terbentuk sebuah pelangi darat yang begitu indah.
Perjalanan masih panjang, saat ini kami sudah memasuki Kabupaten Solok, azan magrib telah menyeru kami berhenti sejenak di sebuah pertamina untuk melaksanakan sholat magrib dan mengisi bensin. Setelah dirasa cukup, perjalanan kami lanjutkan saat ini kami melintasi jalan raya Solok-Solok Selatan-Kerinci, kami memasuki kawasan Kebun Teh Alahan Panjang, berjalan ditengah-tengah kebun teh layaknya berjalan di Antartika, udara dingin menyelinap masuk ke rongga-rongga tubuh, kendaraan kami pacu sebisanya, karena tidak kuat menahan dingin.
Kami merencanakan menginap dulu semalam di Alahan Panjang, salah seorang teman yang juga akan ikut ke Kerinci berdomisili disini, tepatnya di Bukit Sileh Kabupaten Solok. Baru saja kami sampai dirumahnya, minuman penghangat badan lansung kami mintak, maklum kami adalah tamu, kopi panas menjadi pengalih dingin sementara, seusai makan malam kami menghangatkan tubuh dengan cara berendam di kolam pemandiaan air panas yang terkenal disini, sejenak memang udara panas menjalar di seluruh tubuh ini, tapi apabila beranjak keluar dari kolam itu udara dingin lansung mengalahkan udara panas, kami pun mengigil kedinginan.
Jam menunjukan 23:00 waktunya kami mengistiraharkan raga ini, raga yang lelah berjalan seharian, kami tertidur dengan nyenyak tanpa tahu lagi apa yang terjadi. Sentuhan sendok gula pasir di pinggir gelas, menciptakan sebuah nada klasik yang nyering namun menenangkan, kami terbangun kala Swiss Army menunjukan jam 08:00 WIB pagi, saya melangkah keluar rumah, bintik-bintik cahara mentari masuk melalui flafon rumah menciptkan bayangan fatamorgana yang menyilaukan. Duduk didepan rumah, ditenami segelas teh panas, dari barat saya saksikan mentari terbit dari balik bukit barisan, cahayanya dipantulkan oleh sepasang danau kembar yaitu danau di atas dan danau di bawah, dua danau yang terletak berdekatan dan penuh dengan misteri. Pemandangan ini sangat menabjubkan, saya mengahadapkan wajah ini ke langit, dalam hati saya berbesik “inilah lukisan alam Sang Pencipta”.
Kami meninggalkan Bukit Sileh, membelah kembali jalan raya menuju tanah Kerinci. Tidak jauh dari tempat kami menginap, kami berjalan dipinggir danau kembar, pemandangan yang sangat menarik, danau yang berada di tengah-tengah perbukitan, dihiasi tebing-tebing tinggi, airnya jernih, beriak sedikti demi sedikit, menampakkan ketenagan namun menghanyutkan, begitulah keyakinan masyarakat sekitar danau. Lagi-lagi kami tidak bisa memacu kendaraan terlalu kencang, bukan karena suasana dingin lagi, namun keadaan jalan berlobang membuat kami harus sangat waspada, lengah sedikti saja fatal akibatnya.
Kami memasuki Kabupaten yang tergolong muda di provinsi Sumbar yaitu Kabupaten Solok Selatan, kabupaten yang terkenal dengan kekayaan emasnya. Kembali kami melewati rute kebun teh, yaitu kebun teh mitranya kebun teh Kayu Aro. Rute ini sedikir berbeda dari rute sebelumnya, karena rute ini menayjiakn pemandang gunung kerinci nan indah, dari sini terlihat jelas kokohnya gunung Kerinci berdiri tegak di sana, sunguh sangat menakjubkan.

Assalamu’alaikum Kerinci…
Kami memasuki kabupaten Kerinci, namun perjalanan masih panjang silih berganti suasana perjalanan, dari satu kecamatan ke kecamatan lainnya. Tanpa terasa kami sudah berada di tengah-tengah lautan hijau, laut yang membentang daratan, ombaknya dibawa oleh angin yang berhembus, inilah dia Kebun Teh Kayu Aro, kebun teh tertinggi nomor satu di dunia dan terluas nomor dua di dunia. Terbentang dari barat ke timur, selatan ke utara, sejauh mata memandang mata dimanjakan pemandangan hijau yang segar, sejuk dan tenang. Melihat luasnya kebun teh ini, saya teringat kata guru waktu di Madrasah dulu, kerajaan King Sulaiman yang begitu perkasa, istananya megah diselimuti permadani berwarna hijau, layaknya seperti yang saya lihat detik ini.
Akhirnya kami sampai di kecamatan Sulak Panjang, disini kami akan menginap selama berada di Kerinci, dirumah seorang teman, guru sekaligus lawan dalam berdebat Aseng Yulanda saya memanggilnya. Kami memberikan waktu yang cukup kepada raga ini untuk beristirahat sebelum kami memulai perjalanan baru, yaitu mentaklukan puncak tertinggi di Pulau ini, yaitu gunung Kerinci dengan ketinggian 3805 mdpl adalah misi utama perjalanan ini.
Beberapa waktu setelah sampai di keceamatan Sulak Panjang, dirasa sudah cukup segala persiapan untuk memulai pendakian mentaklukan atap Sumatera itu, Gunung Kerinci. Selasa 9 Januari 2018, tepat jam 09:00 WIB kami memulai perjalanan, namun disayangkan sekali satu orang diantara kami tidak bisa ikut mendaki karena sakit, tapi pendakian tetap kami lanjutkan. Kami mengendarai sepeda motor dari Sulak Panjang menuju jalur pendakian yaitu Tugu Macan yang terletak di kecamatan Kayu Aro. Kami menitipkan motor di salah satu warung warga yang menjadi tempat penitipan kendaraan bagi pendaki, cukup membayar 20.000 ribu saja, motor dijamain keamanannya sampai kita kembali.
Perasaan khawatir bercampur cemas mulai merasuk ke dalam jiwa saya, ini adalah pengalaman mendaki pertama dalam hidup saya, belum memiliki pengetahuan tentang gunung, belum pernah mendaki gunung-gunung yang ketinggiannya tidak setinggi gunung Kerinci, tapi saya tidak takut dan menyerah berlarut-larut, dengan semangat yang menggelora dari dalam diri, saya harus mentaklukan puncak tertinggi di Pulau Sumatera ini.
Kami memulai pendakian dengan memasuki Pintu Rimba, disini kami menemukan ucapan selamat datang bagi para pendaki, disini juga para pendaki mendapatkan informasi dan gambaran mengenai jalur pendakian melalui spanduk yang ditempelkan di pintu rimba. Beberapa saat perjalanan dari pintu Rimba, melewati jalur yang masih datar, belum terlalu menanjak, namun udara dingin dan basah pegunungan sudah mulai terasa, bisik-bisik penghuni rimba menjadi hiburan kami selama perjalanan, jalur yang basah, becek, berlumpur adalah tantangan tersendiri, ketika raga ini mulai mengeluh, otot-otot kaki mulai memberontak, paru-paru tak karuan mengluarkan nafas, semua memintak untuk berhenti dan kemabali. Namun disisi lain, jiwa berkata “kamu harus mampu”, semangat semacam itu terus dilontarkan oleh jiwa ini, hingga terjadi tawar menawar dalam diri.
Sesudah melewati perjalanan dari Pintu Rimba, kami sampai di pos  pertama, Bangku Panjang demikian masyarakat menamainya, ketinggian disini mencapai 1890 mdpl, sudah cukup tinggi. Kami sejenak beristirahat sambil minum air, mengumpulkan kembali tenaga untuk melanjutkan pendakian, semua nampak capek, letih, sakit, kram namun dibalik wajah-wajah kecapek an itu tersimpan semangat yang besar.

Dengan semangat dan tenaga yang tersisa kami melanjutkan pendakian untuk menuju pos  kedua yang berjarak lebih kurang 750 m dari pos ke pertama. Kami terus bergerak mendaki, jalur pendakian sudah mulai agak menantang, tanjakan-tanjakan selalu berada di depan kami, tak jarang diantara kami banyak yang memintak untuk beristirahat sejenak di jalan. Tidak lama dari pos pertama akhirnya kami sampai di pos kedua yaitu pos Batu Lumut, ketinggian disini mencapai 2010 mdpl, sungguh sangat tinggi. Disini kami berhenti agak lama, karena kami menunggu beberapa orang teman yang jauh tertinggal di belakang, maklumi saja tanjakannya sudah mulai menantang.
Semua sudah berada di pos kedua, semua sudah minum air, semuapun sudah kembali menemukan tenaganya, pendakian kami lanjutkan. Semakin tinggi kami mendaki maka jalurnya pun semakin tajam dan ekstrim, butuh tenaga lebih, stamina yang prima untuk dapat melanjutkan pendakian ini, diantara kami berjalan layaknya keong, walaupun ada satu atau dua yang agak lebih cepat. Diperjalanan dari pos kedua menuju pos ke tiga, ada satu kejadian yang tidak akan pernah saya lupakan sebagai pengalaman mendaki pertama dalam hindup saya, dimana saya harus kembali beberapa meter kebawah menjemput alat masak yang tertinggal oleh saya. Kejadian ini bermula ketika salah seorang diantara kami mengalami kram dibagian kaki kirinya, maka dengan cepat saya membantunya, setelah selesai kami melanjutkan perjalanan, saya baru sadar setelah lebih kurang 30 menit perjalanan bahwa alat masak tertinggal, dan saya pun harus kembali menjemputnya, saya turun sambil berlari, dihantui bayang-bayang tersesat dirimba karena saya adalah pendatang, akhirnya alat masak itu saya temukan dan saya kembali kedalam rombongan. Selang beberapa jam kami sampai di pos ke tiga (saya lupa nama pos dan ketinggiannya), disini kami bertemu dengan pendaki lain yang berasal dari Medan, Pekanbaru dan Surabaya. Kami berhenti dan membuat kopi panas, karena udara sudah sangat dingin.
Kami melanjutkan perjalanan menuju Shalter 1, disana kami merencanakan mendirikan tenda dan istirahat mala ini, rute menuju Shalter 1 sangat melelahkan, licin, penuh tanjakan dan terkadang membahayakan, tepat 17:35 kami sampai di Shalter 1 dengan ketinggian 2505 mdpl, disini kami berjumpa dengan pendaki lainnya, ada yang mau naik dan ada yang mau turun, kami mendirikan tenda secepatnya karena diatas sana awan hitam telah memberi kode kalau hari mau hujan. Benar saja baru saja tenda selesai kami dirikan rintik hujan mulai membasahi Shalter 1, udara dingin tidak terbendung, angin pun tak memihak kami, dia datang sari segala penjuru hingga menambah suasana dingin. Saya masuk ke dalam tenda, memakai kaus kaki, sarung tangan, jacket dan baju berlapis namun tak sedikitpun mengusir hawa dingin ini.
Dari kejahuan saya melihat mentari mulai bersembunyi dibalik puncak gunung Kerinci, malam pun datang dengan kegelapan dan kedinginannya, Bulan dibuat mengalah oleh awan hitam yang berkuasa malam ini, langit dunia hampa, tanpa bulan tanpa bintang satupun malam ini, sunyi, lembab, gelap, dingin, begitu hampa malam ini. Setelah kami makan malam dengan racikan apa adanya kami beristirahat untuk melanjutkan pendakian di esok harinya.
Kami kembali melanjutkan pendakian, meninggalkan Shalter 1 menuju Shalter 2, lagi-lagi tracknya sungguh sangat melelahkan, jalanya licin, berlumpur, terkadang kami hanya bergantung kepada akar-akar pohon sebagai gantungan dan pijakan kami, salah memilih pijakan maka akibatnya fatal. Berjalan di tengah rimba yang terrnasuk ke dalam kawasan Taman Nasional membuat kecemasan kami berlipat ganda, karena dimana saja kawasan Taman Nasional, artinya tempat itu adalah rumah bagi Sang Raja hutan. Melewati tanjakan tajam, pohon-pohon besar, akar-akar kayu, ditambah lagi dengan udara dingin yang menusuk tulang membuat kami cepat kehilangan tenaga, bibir mulai kering dan pecah-pecah, ujung jari mulai mati rasa, telinga mulai mendengung tanda mereka sudah mulai kelelahan, tapi perjalanan belum berakhir, kami harus mencapai Shalter 2 secepatnya.
Dengan langkah goyah, dari kejahuan saya menyaksikan udara terang diatas sana, saya yakin itu adalah Shalter 2, dengan semangat tinggi saya terus mengejar cahaya itu, namun semakin saya kejar semakin jauh dia berlari, dengan langkah seperti keong, akhirnya kami sampai di Shalter 2. Namun ketika sampai di Sahlter 2 kami kehabisan air, dengan harapan di Shalter 2 ini ada sumber air terdekat, tapi setelah beberapa orang diantara kami berusaha mencari air, air tidak kami temukan. Dengan bekal apa adanya, kami melanjutkan pendakian menuju Shalter 3.
Pendakian menuju Shalter 3 adalah yang terberat, kami harus memanjat tebing, melewati akar pohon, merunduk dibawah batang pohon yang tumbang, bergantungan dan saling tarik menarik, melewati jalur yang gelap karena tidak tembus cahaya mentari. Kami terus melangkah sedikti demi sedikit, diperjalanan menuju Shalter 3 kami berjumpa dengan pendaki dari Singapura, mereka mau turun. Sekitar jam 16:00 WIB akhirnya kami sampai di Shalter 3 dan puncak gunung Kerinci. Saya merasakan tubuh saya tidak kuat lagi, udara dingin dan bau belerang sudah mulai masuk kedalam paru-paru, bibir sudah pecah-pecah, ujung tangan, ujung kaki, lutu, paha, hidung semuanya lelah, sehingga membuat badan ini pusing, kepala terasa sakit dan diiringi rasa mual. Setelah tenda didirikan saya lansung masuk ke tenda dan beristirahat sejenak tanpa menyaksikan pemandangan terlebih dahulu.
Sayup-sayup saya mendengar canda dan tawa teman-teman dibalik tenda, dengan tubuh yang belum kembali fit seperti semula, saya paksakan kaki ini melangkah ke luar tenda, alangkah kagetnya saya menyaksikan apa yang ada di depan mata ini..
Alhamdulillahhirabbila’alamin… saya sudah berada di Puncak Sumatera, Puncak gunung Kerinci, gunung tertinggi di Pulau ini. Saya saksikan sekeliling saya pemandangan yang begitu menakjubkan, indah, luar biasa. Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh terlihat jelas dibawah sana, lautan hijaun Kayu Aro memaparkan permadani keindahannya, danau gunung Tujuh disebelah sana terlihat bagaikan telaga al-Kautsar di Syurga, airnya jernih, memantulkan cahaya kemerahan sang mentari yang sudah mulai kembali bersembunyi di balik puncak ini.
Saya langkahkan kaki menjahui teman-teman yang sedang asyik berfoto, sejenak saya hadapkan wajah ini memandang alam lepas, perbukitan terhampar seperti ombak di pantai, awan putih yang jernih berada dibawah kaki saya, perkebunan warga, rumah-rumah warga, danau dan semuanya terlihat jelas dengan indah disini, seketika mata saya berkaca-kaca dan tak terbendung lagi, akhir mutiara yang saya simpan dibalik sepasang kelopak mata itupun jatuh berderai memasahi pipi, saya begitu takjub melihat keindahan lukisan alam karya Sang Pencipta, hilang semua keegoan dalam diri, runtuh semua kebahagian duniawi, hancur lebur hati ini, tatkala saya mengingat kesalahan, kesombongan dan kekufuran selama ini, ampuni hamba Ya Rabbi, hati saya merintih.
Saya bersyukur sedalam-dalamnya, kata-kata Alhamdulillah tak putus-putus saya utarakan, Tuhan memberikan saya kesempatan untuk menyaksikan ciptaan-Nya dari ketinggian 3805 mdpl disini, memang Dia lah yang Maha Tinggi, Maha Agung, Maha Perkasa, Maha Kaya, Maha Pencipta dan Maha Segala-galanya. Sedangkan manusia hanyalah makhluk lemah yang tak dapat berbuat apa-apa kecuali atas izinya, manusia hanya satu dari sekian banyak makhluk yang diciptakan-Nya, manusia hanyalah seorang hamba yang seharusnya setiap saat mengingat Kebersaran Rabbi, selalu bersyukur dan bertawaduk.
Disaat saya semakin memaknai apa yang ada didepan saya, bentangan alam yang begitu luas, indah, cantik dan menakjubkan saya teringat pesan orang tua:
“Gunung adalah cipataan tuhan yang paling tinggi, tapi manusia adalah ciptaan tuhan yang paling sempurna.
Maka gunakanlah kesempurnaan itu untuk mentaklukan ketinggian”
Hari ini adalah hari yang bersejarah dalam hidup saya, Kamis 11 Januari 2018 dengan pengalaman pertama mendaki dalam hidup ini, saya telah berhasil melangkahkan kaki di Atap Sumatera dan mentaklukannya dan tentunya ini tidak akan pernah terlupakan…








…………Melangkah di Atap Sumatera…………
Kerinci, 11 Januair 2018

0 komentar:

Posting Komentar

 
HMJ Sejarah UNP © 2017-2018