Malam ini masih sama seperti malam biasanya. Jangkrik yang masih senangnya berceloteh tanpa henti. Yang sesekali diselingi suara sepatu nelayan yang sedang menapaki jalan depan rumahku. Tidak ada yang beda.
Dari luar terdengar adzan Isya berkumandang. Bergegas aku bangkit dari sebuah kursi kayu berwarna kecoklatan, berjalan pelan menuju ke kamar mandi untuk berwudhu.
Dengan wajah yang masih dibasahi wudhu, ku langkahkan kaki menuju sebuah masjid yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Perlahan menapaki jalan aspal berdebu dengan lebar dua setengah meter.
Singkat terasa, ku telah menginjakkan kaki di halaman masjid. Halaman dengan luas lima puluh meter persegi yang berlantai semen, tanpa sebatang pun tanaman menghiasi. Di depan ku, berdiri sebuah masjid. Masjid yang bisa terbilang besar dan megah untuk ukuran sebuah masjid di perkampungan.
Tanganku pun dengan sigapnya membuka pintu dengan tinggi dua meter dan lebar satu setengah meter. Di dalam, sebuah lampu hias yang berwarna kuning keemasan begitu molek tergantung di tengah-tengah masjid. Kaligrafi-kaligrafi yang menempel pada dinding menambah keindahan masjid ini. Di depan, terdapat sebuah mimbar berwarna kuning mengkilap. Terlihat di sebelahnya, berdiri seorang kakek tua yang baru saja selesai mengumandangkan adzan. Seorang yang belum pernah ku lihat sebelumnya. Jelas dia bukanlah orang kampungku. Tapi siapakah dia ? Ah, bukanlah saat nya untuk bertanya saat ini, karena waktunya untuk sholat sunah qabliyah Isya terlebih dahulu.
Aku mencoba menghampiri kakek itu usai mengerjakan shalat sunah. Bersalaman seraya menyuguhkan sedikit senyum kepada nya. Dari dekat, tampak janggutnya yang telah memutih. Dia mengenakkan kopiah hitam yang telah menguning sebagai penutup kepalanya.
Tit tit tit tit.... pertanda waktu untuk Iqamah. Aku pun dengan sigap melangkah ke depan untuk iqamah. Dan nantinya kakek ini yang menjadi imamnya.
Allahuakbar... shalat pun dimulai.
Terdengar begitu syahdu bacaan kakek ini, dengan irama ala timur tengah yang seakan membuat ku terasa seperti sedang shalat di dalam Masjidil Haram. Masjid yang diimpikan oleh setiap muslim di seluruh dunia. Sesekali, terdengar isakan seperti kakek ini sedang menangis. Mataku pun tanpa diberi aba-aba langsung ikut berpartisipasi mengeluarkan cairan bening, mengalir dan jatuh di sajadah masjid yang berwarna merah tua dengan sedikit motif flora. Terlintas sejenak, mengganggu kekhusyukanku, kenapa kakek ini menangis ? Ah, nantilah...
“assalamu’alaikum warahmatullah...” shalat berjamaah pun usai..
Setelah zikir dan diakhiri doa, ku coba untuk sedikit berbincang dengan kakek ini.
“Edwin kek...” seraya mengulurkan tangan bersalaman dengannya. Kakek ini hanya sedikit tersenyum pada ku.
“luar biasa sekali masjid ini nak...” ujar kakek
“ya gitu lah kek. Setimbang dengan dana yang telah dihabiskan...” kata ku sambil menoleh-noleh seisi masjid yang begitu indah.
“kakek siapa ? dan dari mana ?” tanyaku.
“kakek adalah seorang pengelana. Singgah dari masjid yang satu ke masjid yang lain nak...” jawab kakek perlahan.
“ooo...” gumamku pendek
“oh ya, kenapa kakek menangis saat shalat tadi” pertanyaan ini sontak keluar dari mulut ku yang sedari tadi membenak dalam pikiran.
“kau tidak perlu bertanya seperti itu nak, karena dengan kondisi saat ini kau pasti tahu jawabannya” jawab kakek sambil tersenyum getir.
“maksudnya kek ? aku benar-benar tidak mengerti ?” ujarku keheranan.
“apakah kakek menangis karena teringat dosa-dosa kakek ? ataukah rindu akan istri, anak, dan cucu-cucu kakek ?” aku mencoba memberanikan menebak dengan kalimat seperti itu, meskipun aku tahu jawaban itu jauh dari benar.
“bukan nak. Bukan sama sekali. Aku menangis bukan karena teringat akan dosa, buka pula karena terkenang akan anak dan isteri. Tapi...” kakek terhenti karena air matanya perlahan keluar.
“tapi apa kek...?” tanya ku penasaran sambil ikut prihatin melihat dia menangis.
“tapi karena melihat masjid yang semegah dan sebesar ini sepi dari jamaah. Kemana mereka yang dulu nya membangun masjid ini ? kemana ? mereka beramai-ramai, berbondong-bondong hanya ketika membangunnya. Setelah selesai, mereka hanya tersenyum bangga karena masjid megah ini dibangun berkat harta, keringat, dan jerih payah mereka. Mereka bangga ketika nama mereka disebutkan melalui pengeras suara seperti orang yang paling dermawan di seluruh pelosok negeri. Mereka ria. Mereka telah melakukan kesalahan yang besar. Mengapa mereka hanya beramai-ramai ketika membangun masjid ini ? kenapa mereka tidak beramai-ramai pada saat shalat berjamaah di dalamnya ? kenapa nak.. ?” kakek berbicara lebar. Marah. Melontarkan semua yang tersimpan sedari tadi.
“nak, ramaikan. Ramaikanlah rumah Allah ini. Dia tidak meminta kita membangun masjid yang besar dan megah. Dia hanya minta kita untuk memakmurkannya. Mengisi penuh shaf-shaf yang ada di dalamnya. Ramaikanlah nak.. Ingatlah pesan ku ini nak...” kakek menasehatiku, seraya mencoba menenangkan dirinya.
“kek..? kek..? kek..?”
kakek tiba-tiba menghilang begitu saja dari hadapanku. Kakek seperti hilang ditelan bumi. Sungguh seorang kakek yang begitu misterius.
Perlahan ku berdiri, melupakan kejadian barusan, melanjutkan untuk shalat sunat ba’diyah Isya yang sempat tertunda oleh perbincangan tadi. Tapi pikiranku masih teringat akan sesuatu.
“ramaikan, ramaikanlah rumah Allah ini”...
Padang, 11 April 2017
ACHMAD EDWIN SUTIAWAN
0 komentar:
Posting Komentar