Ada rasa lain setiap kali wajah itu ku
tatap lamat. Wajah dengan kombinasi yang begitu sempurna; mata biru dengan
kelentikan bulu matanya, dihiasi hidung mancung dan bibir merah kehitam-hitaman
yang merekah, kulit lembut laksana awan pagi yang meyejukkan mata setiap kali
memandang ke arahnya, begitu serasi.
Wajah yang sungguh sampai saat ini tak ku
temukan kosa kata yang tepat untuk mewakilinya. Jika ku sebut cantik, dia
terlalu manis jika hanya dikatakan cantik, dan kalaupun ku sebut manis, ah...
rasanya semua madu, gula, atau apalah... yang meskipun dikumpulkan dari segala
penjuru negeri, akan kalah jauh jika kusandingkan dengan wajah itu.
Delia, begitulah orang-orang menyapanya. Tetapi
aku lebih “intim” memanggilnya Yaya.
........................................................
“Kevin...?”
Seseorang tiba-tiba memanggilku dari arah belakang.
Perlahan ku alihkan pandanganku pada sumber suara itu. Dia adalah Yaya. Seketika
ritme jantung ini berdetak tak normal dari biasanya, menyaksikan seseorang
dengan kombinasi wajah yang sempurna ada di hadapanku. Ya Tuhan.... apakah ini
yang namanya cinta. Jika ada masa dimana waktu berhenti berputar, maka saat ini
juga aku ingin hal itu berlaku. Aku ingin tetap menatap wajah dengan kombinasi
yang sempurna ini lebih lama lagi.
“Vin... kamu gak apa-apa kan..?”
“Eh.. maaf aku ngelamun tadi...”
“Siang-siang bolong kayak gini masih
ngelamun juga...”
“Eh eh... jangan salahkan aku dong... ini
salah orang tuamu tauk...”
“Hah.. kok malah orang tuaku yang
disalahkan... emang apa hubungannya...”
“Ya sudah jelas salah orang tuamu lah... Punya
anak manis kayak gini. Gimana orang tidak ngelamun melihatnya coba...”
Secercah senyum mekar dari bibir indahnya.
Sontak pula jantung ini berdetak tak menentu. Ya Tuhan, inikah bidadari surga
yang kau janjikan untukku...
“Sudahlah, rayuanmu tidak akan pernah
habis setiap kali bertemu aku. Kalau kayak gini gak jadi kita buat tugasnya...”
Yaya adalah teman sekelasku. Kami adalah
mahasiswa semester 6 salah satu kampus ternama di Bandung. Sepeti halnya
mahasiswa lainnya, hari-hari kami disibukkan dengan tumpukan tugas yang tanpa
sedikitpun bersikap humanis. Belum lagi harus membagi waktu untuk beraktivitas
di organisasi yang kami ikuti. Semuanya memerlukan manajemen waktu yang tepat.
“Kamu bawa bukunya kan...?”
“Kalau kamu yang minta pastilah ku bawa.
Ini....”
“Hah.. bukan buku ini Kevin... tapi buku Filsafat
Ilmu...”
“Eh eh maaf... salah ya..”
“Masih ngelamun juga...”
“Habis...”
“Ah sudahlah, pasti ngegombal lagi. Gak
selesai-selesai tugas ini nanti...”
.......................................................
Entah apa yang terjadi padaku hari ini. Buku
Filsafat Ilmu yang diminta Yaya malah buku Psikologi Pendidikan yang ku berikan
padanya. Semuanya jadi serba salah. Tapi sekali lagi ini bukanlah salahku. Salah
siapa ? yap, benar. Salah orang tua si pemilik wajah kombinasi sempurna ini.
Suara hape
ku tiba-tiba berbunyi. Randa, salah seorang teman kos ku menelpon.
“Vin, kunci kos kau tarok di mana ?”
“Astagfirullah... kuncinya kebawa. Aku di
kampus sekarang. Tunggu bentar ya.. aku selesaikan tugasku sebentar...”
“Oke, cepat ya...”
“Sip sip...”
.................... Hening sejenak.
“Siapa yang menelponmu ?”
“Kawanku, kunci kos kebawak ke kampus. Aku
lupa menitipnya ke kamar sebelah tadi pagi. Habisnya... tak sabaran ingin
ketemu kamu...”
“Eh ada terus celahmu ngegombal ya... Ya
udah, kamu pulang aja duluan. Biar aku saja yang selesaikan tugas ini.”
“Nanti saja, aku selalu menantikan
saat-saat seperti ini kau malah menyuruhku pergi...” ucapku dengan sedikit
wajah cemberut.
Yaya tertawa. Tampak gigi putih yang
berderet rapi dihiasi dua taring yang tertancap manis.
“Jika seandainya kamu adalah vampir, maka kamu
satu-satunya vampir termanis dari sekian banyak vampir perempuan yang ada dan aku
akan rela mati untuk berulang kali oleh gigitan taring manismu itu...” gumamku
dalam hati.
“Kan kawanmu sedang menunggumu. Mana tauk
pentingkan...”
“Ya udah aku pulang dulu ya...
“Iya iya..”
“Kamu jangan gigit orang di sini ya...”
“Hah... apa maksudmu..”
Tak begitu kujelaskan ucapanku barusan. Seraya
tertawa perlahan menjauh meskipun kaki terasa begitu berat meninggalkan sipemilik
wajah berkombinasi sempurna ini.
***
“Kevin.... Kevin... !!!”
Kevin sudah terlalu jauh untuk mendengar
suaraku. Padahal aku ingin mengembalikan buku catatan hariannya yang
ketinggalan saat membuat tugas bersamaku.
“Ya sudahlah... aku bawa pulang saja
bukunya. Besok di kampus aku kembalikan lagi...” gumamku
...................................................................
Hari masih begitu pagi. Sejuk pun masih begitu
betah menjamah tubuhku. Semburat kuning keemasan dari ufuk timur menyelinap
masuk dari balik ventilasi kamarku. Perlahan ku tarik selimut bermotif flora
dari tubuhku dan dengan sigap membuat secangkir teh hangat.
Baru pukul 06.15 WIB. Masih ada waktu
untuk rehat sejenak untuk menjamu pagi sebelum berangkat ke kampus. Hari ini
kami masuk kuliahnya agak telat, dikarenakan dosennya tidak bisa hadir seperti
biasa sebab ada urusan keluarga. Jadi perkuliahan hari ini disepakati mulai jam
08.30 WIB.
Ditemani secangkir teh hangat seraya mengambil
novel yang tak kunjung kuselesaikan. Tetapi tanpa sengaja, tanganku menyenggol
dan menjatuhkan sebuah buku kecil yang berpaspasan dengan novel tersebut. Salah
satu halaman buku tersebut pun dengan molek terbuka, “KOMBINASI SEMPURNA”
Ini adalah buku catatan harian Kevin yang
ketinggalan di kampus kemaren. Sontak aku pun penasaran untuk membaca bagian “Kombinasi
Sempurna” ini secara keseluruhan.
.......................................................
“Kombinasi Sempurna”
Tujuh September Dua Ribu Lima Belas -
tatkala hujan membasahi seantero Kota Bandung. Hari itu mungkin biasa-biasa
saja bagi orang lain, tapi tidak dengan ku. Hujan yang mendatangkan hawa sejuk
memaksa aku untuk sejenak ke salah satu kantin yang ada di kampus. Kopi hitam adalah
pilihanku saat itu. Kopi hitam yang selalu menjadi pilihanku bukanlah sesuatu
yang tanpa alasan. Setidaknya ada nilai kehidupan yang bisa ku ambil dari secangkir
kopi hitam, yakni tak selamanya yang pahit tak bisa dinikmati.
Tapi bukanlah kopi hitam yang
kumaksud Kombinasi Sempurna. Tapi dia, seorang gadis berhijab toska yang sedang
duduk di depanku, tepatnya tiga meter dariku, karena setidaknya ada tiga meja
yang membatasi antara aku dan dia. Waktu itu aku sedikitpun tak mengenalnya. Sampai
ketika aku hendak berdiri untuk membayar secangkir kopi hitam yang telah habis
ku seduh kepada Neng Kasir. Tapi sialnya dompetku tertinggal di kos. Dengan alasan
lupa membawa dompet aku mengemis kepada Neng Kasir untuk menunda pembayarannya
sampai aku jemput dompetku di kos. Tapi sialnya lagi, Neng Kasir yang saat itu
adalah petugas baru di kantin tersebut tak mengizinkannya. Di kala itulah,
perempuan berhijab toska yang juga ingin membayar jajanannya, tersenyum seraya
menyerahkan secarik uang untuk membayar secangkir kopi ku kepada Neng Kasir. Meskipun
aku bersikeras menolak, tetapi dia tetap memberikannya pada Neng Kasir. Aku pun
mengucapkan terima kasih seraya sedikit berbincang-bincang dengannya.
Namanya Delia, dan dia adalah
mahasiswa jurusan Psikologi angkatan 2015, satu jurusan dan satu angkatan
denganku. Tapi dikarenakan semester ini tidak ada jadwal kuliah kami yang sama,
aku tak sedikitpun mengenalnya.
Dia adalah kombinasi sempurna yang ku
masksud, kombinasi sempurna antara kecantikan wajahnya dan kecantikan hatinya.
......................................
Lima
Februari Dua Ribu Enam Belas - Ketika sang surya tengah membara di langit Kota
Bandung. Perkuliahan telah usai, aku pun berjalan untuk pulang ke kos ku yang
berjarak kurang lebih 500 Meter dari kampus. Belum sampai sepuluh langkah
berjalan, seseorang dengan sepeda motornya tiba-tiba berhenti tepat di
sampingku. Dia adalah Delia. Delia menawarkan untuk mengantarkan ku pulang ke kos,
dan sialnya aku tanpa sedikitpun basa-basi lansung menerima tawaran tersebut.
“Sejak
kapan kamu jadi tukang ojek .....?” aku memulai percakapan.
“Eh...
bukannya terima kasih malah menghina...”
“Maaf...
cuman bercanda doang. Oya, boleh ku panggil namamu Yaya ...?”
“Hah
kenapa pula Yaya, orang-orang biasa memanggilku Delia aja, kok kamu malah
Yaya..”
“Ya...
siapa tau kan suatu hari bisa lagi ku panggil Yayang...”
Yaya
tertawa seraya memukul bahuku. Sekilas terasa perih, tapi ada rasa lain yang
begitu istimewa, yang sama sekali tak bisa ku sampaikan lewat kata.
“Udah
mulai berani ngegombal ya sekarang...”
“Untuk
mu apa yang tidak...”
“Heleehhhh...”
Kami
telah sampai di depan kos ku. Tak terasa perjalanan pulang dari kampus akhirnya
bertemu ujung. Jika seandainya ada motor di dunia ini yang kecepatannya seperti
keong, maka aku ingin kecepatan motor Delia saat itu layaknya kecepatan keong. Agar
aku bisa lebih lama lagi bersama si pemilik wajah kombinasi sempurna ini.
Delia,
eh salah... Yaya... Aku mencintaimu...
“Aku juga mencintaimu Kevin....” gumamku
dalam hati
Meskipun Kevin selalu mengeluarkan
gombalan pamungkasnya setiap kali bertemu aku, Kevin tidak pernah sekalipun
menyatakan cintanya padaku. Dan ku akui, aku telah jatuh cinta padanya. Bukan
karena gombalannya yang membuat siapapun terpesona, tapi karena rasa nyaman
yang sama sekali tak bisa ku verbalkan ketika bersamanya.
“Maafkan aku Kevin.... Maafkan aku...”
***
Seperti biasanya, aku selalu bersemangat
untuk berangkat kuliah meskipun jarak antara kos ku dengan kampus terbilang
jauh. Jika ada suatu bulan dimana ada banyak kalender merah di dalamnya, maka
itu adalah bulan yang paling ku benci. Dan aku selalu memimpikan setiap hari
adalah jadwal kuliah, berbeda halnya dengan mahasiswa kebanyakan. Itu semua
karena ada sipemilik wajah kombinasi sempurna yang selalu menemani hari-hariku
di kampus.
Hari ini terasa agak berbeda dengan
hari-hari biasanya, karena hari ini aku akan menyampaikan perasaanku kepada
Yaya, tidak dengan sepucuk bunga, tetapi sepasang sepatu. Mungkin terbilang
aneh, karena kebanyakan pria tidak suka memberikan hadiah sepatu kepada
perempuan yang disukainya sebab beranggapan harga dirinya akan diinjak-injak
oleh perempuan tersebut. Tapi tidak denganku. Karena bukanlah Kevin jika tak
berbeda dengan orang lain. Sengaja ku memilih sepatu karena harapanku, surga untuk
anak-anak kami esoknya (Insya Allah)
akan terlindungi oleh sepatu tersebut.
Aku datang lebih awal dari biasanya,
karena ku tahu Yaya selalu datang lebih awal dari kawan-kawan yang lain. Perjalanan
ke kampus pun menemui ujungnya. Aku telah berada tepat di depan lokal. Ritme jantungku
berbeda dari biasanya. Perlahan aku langkahkan kaki seraya hatiku terus berdoa
agar bisa mendapatkan Yaya.
“Astagfirullah... apa yang kau lakukan
Yaya....?”
“Kevin...?”
“Apa yang terjadi Yaya.... Sungguh tak
sedikitpun ku menduga kau seperti ini Yaya..”
“Kevin dengarkan penjelasanku dulu...”
“Tak perlu...”
“Kevin.... Kevin...!!!”
Ya Tuhan, apa yang telah terjadi padaku
hari ini. Dan apa yang telah kusaksikan tadi ? Perempuan yang selama ini ku
kenal kebaikan hatinya, kombinasi sempurna antara kecantikan wajah dan
kecantikan hati, berbanding terbalik dengan yang kulihat barusan. Apa yang
telah terjadi Tuhan... Aku menyaksikan dengan kepalaku sendiri Yaya sedang
berc*m** dengan salah seorang dosen. Tak pernah sekalipun ku menduga akan
seperti ini Tuhan. Harapan yang selama ini kuimpikan sirna sudah. Apa yang
terjadi padamu Yaya....
Aku berlari secepatnya meninggalkan Yaya. Tak
tahu mana arah tujuannya. Ku saksikan Yaya masih mengejarku dari belakang.
“Kevin... Kevin...!!! dengarkan
penjelasanku dulu...”
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.....”
............................................
Ya Tuhan apa lagi yang telah terjadi...
Orang-orang telah memadati lokasi. Ku lihat
Yaya telah tebaring lemah berlimang darah di sekujur tubuhnya.
“Yaya... bangun Ya...
Jangan tinggalkan aku Yaya...
Aku mencintaimu...
Aku tak bisa hidup tanpamu Yaya...
Bangun Ya...
Jangan tinggalkan aku...
Pliss... bangun sayang...
Lihat Ya... aku telah menyiapkan sepasang
sepatu untuk pelindung surga anak-anak kita nantinya... kau sukakan.. ?
Jawab aku Ya...
Pliss..... jawab sayang....”
Dia tidak sedikitpun mendengarkan
ucapanku. Tubuhnya lemah, bersimbah darah. Ya Tuhan, apa yang telah terjadi...
“Yaya pliss.... Jangan tinggalkan aku
sayang...”
Bersambung..............
Padang, 4 Maret 2018 (Ch@nd98)