Pages

Banner 468 x 60px

 

Kamis, 10 Mei 2018

Mempelai Itu Bernama Ramadhan

1 komentar


Bila nanti saatnya t’lah tiba
Ku ingin kau menjadi istriku

Ramadhan. Umat muslim mana yang tidak mengenal nama ini. Sebuah perusahaan sirup legendaris takkala semakin gencar diiklankan di berbagai televisi negeri ini maka sebuah pertanda bahwa dia akan datang. Mari kita bahasakan nama yang suci itu menjadi seorang ‘mempelai’.

Berbagai cara manusia menyambut ‘mempelai’ ini. Mungkin, bagi sebagian orang, ‘pertunangan’ akan dimulai dengan meminta maaf satu sama lain. Yang lain mungkin dengan membersihkan makam dan membaca doa di depannya. Banyak pula yang ingin membersihkan dirinya dengan menceburkan diri ke sungai, yang dinamakan dengan ‘padusan’ atau balimau. Lebih banyak lagi—karena adat—orang yang merelakan bolos kerja—atau sekolah, atau kuliah—untuk bersama-sama dengan keluarga memulai sahur pertama di kampungnya masing-masing. Ada juga orang yang malang, karena kampungnya nan jauh di mata, atau karena tugas dan tanggung jawabnya yang berat, sehingga tidak dapat pulang untuk menikmati waktu bersama, yang barangkali hanya dinikmatinya satu dua kali setahun.

Masjid, atau surau atau mushala atau langgar atau yang sejenis, menjadi tempat utama menyambut sang mempelai. Hari pertama saja sudah penuh sesak oleh jamaah yang hendak salat tarawih yang berdurasi mulai dari 8 menit hingga berjam-jam. Belum dihitung satu setengah jam sebelumnya, ketika jamaah berebut segala hidangan berbuka yang beragam, mulai dari yang sederhana seperti teh manis, sampai yang kompleks seperti kolak. Kurma biasanya merupakan hidangan wajib, untuk mengingat dan menghadirkan suasana padang pasir tempat asal mempelai ini, sehingga tak ketinggalan penjual kurma yang menjamur dari toko besar hingga kedai-kedai.

Di sisi lain, kedatangan sang mempelai justru membuat banyak orang lemas dan malas. Nyatanya, kinerja banyak pekerja dikurangi dari biasanya. Waktu belajar siswa juga dibatasi. Intinya, segala aktivitas padat, ketika sang mempelai datang, menjadi tersendat. Nama sang mempelai telah menjelaskan semuanya: Ramadhan, asal katanya berarti sangat panas. Aturan sang mempelai menjelaskan lebih lanjut: segala benda luar tidak boleh masuk ke dalam kerongkongan, dari fajar sampai petang. Jadi orang-orang sudah punya alasan untuk lemas. Pelemasan ini diperparah dengan perkataan “tidur siang menjadi ibadah”, senjata ampuh bermalas-malasan takkala Ramadhan tiba.

Apalagi anak sekolah yang dibatasi waktu belajarnya sampai tengah hari, dibantainya tidur begitu sampai di rumahnya. Ajaibnya, ritual sore tidak ketinggalan. Ketika sore hari lain lapangan sepi, kali ini berisi. Ramailah lapangan, entah bermain layang, entah suara tembakan meriam bambu, bermain gasing, dan seribu adat bermain lainnya. Semuanya dikemas dalam sebuah nama yang populer: ngabuburit. Pasar juga ramai, untuk menjual penganan khas yang tidak ditemukan takkala sang ‘mempelai’ belum datang.

***

Bila nanti saat berpisah t’lah tiba
Izinkanku menjaga dirimu

Bila ada pertemuan, tentu ada perpisahan. Selama dunia ini masih ada, dua hal ini saling berpelukan mesra dan takkan lepas.

Sang mempelai juga punya waktu perpisahannya. Ketika waktu itu hampir tiba, banyak orang yang mempersiapkan perpisahan dengan mempelai itu. Justru di saat itu, pengeluaran rumah tangga membengkak. Bukan untuk ‘menjaga’ sang mempelai, melainkan menyiapkan upacara perpisahan baginya. Dan masjid-masjid penyambut mempelai semakin sepi saja, kecuali mungkin di kampung yang banyak melahirkan para perantau, sebab mereka akan kembali ke kampungnya takkala hari perpisahan semakin dekat.

Ketika perpisahan itu benar-benar tiba, mempelai itu bukan ditangisi, tetapi dilepas dengan suka cita. Jalan penuh sesak pada malam perpisahan dengan gerombolan obor dan riuh genderang bedug, plus gelegar kembang api dan takbir yang membahana. Isi pengeluaran yang membengkak tadi bertumpah ruah untuk keesokan harinya. Baju terbaik keluar, sajadah terbaik juga keluar, masakan sedap terus keluar. Yang tidak pernah makan daging mungkin akan menyantapnya hari ini, kalau harta mendukung. Macam seorang suami yang ditinggal mati istrinya yang suka melarang ini itu, begitu meninggal sang suami serasa merdeka. Seakan-akan tiada rasa sedih hati ketika sang mempelai meninggalkan mereka.

Bayangkan kalau sang ‘mempelai’ benar-benar seorang manusia! Dimakinya orang-orang yang sibuk mempersiapkan diri untuk menyambut sang ‘mempelai’ itu. Orang-orang yang minta-minta maaf, atau yang mandi ‘padusan’ atau ‘balimau’ tadi, akan dihujatnya, sok suci. Betapa malangnya dia ketika tidak ada yang menemani di ujung waktunya, diratapinya orang-orang yang menyambutnya kemarin, karena mereka semuanya kabur dan tidak peduli padanya. Tidak ada yang benar-benar setia menemaninya baik senang maupun susah. Mayatnya tidak diiring ratap tangis dan duka, tetapi dengan genderang suka cita, lalu mayat itu dicampakkan ke laut!

Padahal belum tentu mereka mendapati sang mempelai tahun depan, kecuali dalam keadaan mulut dipenuhi tanah, dan yang punya mulut itu sudah masuk ke lubang, ditimbun dan ditandai nisan, tidak pernah kembali lagi. Padahal, mempelai itu muncul untuk mendekatkan diri mereka kepada sang ‘Mertua’, yang dibutuhkan semua orang. Sang ‘Mertua’ telah menjanjikan banyak hal dan mendatangkan ‘menantu’Nya untuk kita, tetapi sebagian kita menyia-nyiakannya.

Adakah manusia akan benar-benar tergerak untuk menyambut ‘mempelai’ ini?

Mempelai itu bukanlah sebuah wujud, melainkan sebuah waktu...
Mempelai itu bernama Ramadhan

Padang, 25 Sya’ban 1439/11 Mei 2018
Ibnu Salim Bajambek
Read more...

Jumat, 23 Maret 2018

SANG PERAWAT

0 komentar


“Aaaaaaaaaaaaa.......”
“Tolong tolong tolong....”
“Tolong tolong....”

Jeritan demi jeritan menggema. Hanya berbilang detik, jalan telah dipenuhi oleh ratusan orang. Mereka yang berniat menolong ataupun mereka yang hanya sekedar ingin mengusir rasa penasaran terhadap apa yang barusan terjadi, tanpa sedikitpun berbuat apa-apa. Darah yang tak terbendung lagi telah membuat sepanjang badan jalan berwarna merah mengerikan. Aungan ambulance terdengar begitu mencekam. Menerobos masuk ke dalam ratusan orang yang berdiri sedari tadi. Melaju cepat setelah korban-korban dimasukkan dengan sigap oleh petugas.

“Aku dimana ?” Tangannya mulai bergerak. Mata yang semenjak semalam terlelap perlahan terbuka.
“Alhamdulillah kamu udah sadar sayang. Kamu sekarang ada di rumah sakit. Kamu istirahat saja dulu ya... Kondisimu belum pulih betul....” jawab seorang ibuk-ibuk berkepala lima, yang telah semalaman menemani buah hatinya yang mengalami kecelakaan.
“Papa mana..?”
“Papa masih di luar negeri. Barusan tadi dia nelpon nanya kabar kamu. Mungkin besok baru nyampe sini...”
“Ferari-ku gimana Ma...? nanti aku pasti dimarahin Papa...”
“Kamu gak usah mikirin itu dulu Sani. Kamu istirahat saja. Urusan itu biar Mama yang ngomong sama Papa nanti...”
“Tapi Ma...”
“Shhhhhh....” seraya mengusap lembut kepala anaknya yang masih diperban.
“Kamu gak usah mikir-mikir yang lain. Sekarang istirahat saja dulu. Kata dokter benturanmu semalam tidak terlalu keras, jadi hanya butuh istirahat untuk beberapa hari saja...”
“Aku pengen pulang Ma... Gak enak disini”
“Kata dokter kamu belum bisa pulang hari ini. Tiga hari ke depan baru kamu diizinkan pulang. Kamu yang sabar saja Sani. Anggap ini teguran dari Tuhan untukmu yang selalu balap-balapan liar di jalanan...”
“Ah... Mama gak ngerti kali dunia anak muda. Kecelakaan dikit kayak gini ya biasalah... Namanya juga laki-laki...”
“Kamu gak pernah mau berubah sedikitpun. Kawan-kawanmu setelah mengalami kecelakaan semuanya memilih meninggalkan hoby gila itu. Kamu saja lagi. Entah kapan kamu bisa berhenti dari balap-balapan liar itu. Mama khawatir tau...”
“Gak usah terlalu mengkhawatirkan aku Ma... Kalau memang sudah ajal kan mau dimana juga ya kita akan tetap mati. Toh mau duduk manis di rumah kalau memang sudah ajalnya kan tetap mati juga Ma...”
“Ah.. kamu paling susah kalau dibilangin. Kamu saja yang betul...”
“Udahlah Ma... Aku mau keluar bentar.. Nyari angin segar di dekat sini...”
“Tapi kondisimu masih lemah Sani...”
“Aku gak apa-apa kok.. Aku bosan disini..”
“Mama temenin ya...”
“Gak usah Ma.. Aku bisa sendiri..”
“Beneran gak mau nih...?”
“Iya...”
“Ya udah kamu hati-hati ya sayang...”
“Iya Ma...”

Sani perlahan melangkah, beranjak keluar. Tak jelas juga tujuannya. Hanya dituntun oleh keinginan hati. Dia berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang lumayan panjang. Langkahnya tiba-tiba terhenti, bukan karena kakinya yang masih terasa sakit akibat benturan semalam. Tapi karena seseorang. Seseorang yang mengenakan pakaian serba putih seperti halnya pakaian perawat kebanyakan, hanya saja dia dihiasi dengan hijab syar’i yang juga berwarna putih, yang tak dapat dijumpai pada perawat-perawat yang lain di rumah sakit ini. Seorang perawat dengan wajah yang mampu membuat jantung Sani berdetak lebih kencang dari biasanya.

Dengan langkah perlahan dia mencoba mengikuti sang perawat itu. Perawat itu memasuki salah satu ruangan pasien. Dia sedang mengganti cairan infus pasien yang hampir habis. Sani mencoba mengintip dari balik pintu, menyimak dengan seksama perawat yang sejak tadi membuat jantungnya berdetak kencang.
“Nenek yang banyak istirahatnya ya...”
“Iya nak...”
“Nak...?”
“Ada apa nek..?”
“Nenek boleh nggak minta tolong ambilkan buku itu...” Ucap pasien yang sudah berumur 80 tahun itu seraya tangannya menunjuk ke arah buku yang terletak di atas meja.
Perawat itupun dengan lembut memberikan buku itu kepada pasiennya.
“Boleh gak nenek minta bacakan buku cerita ini...”
“Ah nenek... kayak anak kecil aja... udah tua masih saja suka dengar cerita...” tersenyum seraya tangannya mencubit manja pipi pasien yang telah berumur 80 tahun itu.
“Dengar ya... tapi nenek janji akan tidur setelah mendengar cerita ini ya...”
“Ya nenek janji cantik...”
“Ah nenek muji kalau ada maunya saja...”
Mereka berdua tertawa. Layaknya seorang nenek dengan cucu kandungnya. Bukan lagi seorang pasien dan perawat.
“Ya Tuhan... begitu lembut hati perempuan itu. Sungguh aku telah jatuh cinta padanya. Mengagumkan. Aku mohon Tuhan, jika aku telah sembuh nanti, izinkan aku untuk bisa mendekatinya. Aku berjanji akan menikahinya...”

Pasien berumur 80 tahun itu pun tertidur pulas. Sang perawat menyudahi membacakan buku cerita itu. Dia pun beranjak untuk keluar ruangan. Sani yang sedari tadi menyimak di balik pintu bergegas melangkah dan pura-pura tidak tahu apa-apa ketika perawat itu lewat di depannya. Perawat itu tersenyum padanya. Membuat detak jantung Sani berdetak lebih kencang lagi. Kakinya melemah. Tubuhnya terdiam pasrah. Terkena panah cinta sang perawat itu.

Sani masih memperhatikan perawat itu yang berjalan dengan anggun menuju ruangannya. Rasa cinta yang tak terbendung lagi membuat dia berusaha mengejar perawat itu sebisa mungkin. Meskipun kakinya terasa sakit ketika harus digerakkan lebih cepat.

Sani telah berada tepat di depan pintu ruangan perawat. Dia mencoba mengetuk pintu dan yang keluar bukanlah perawat yang dia cari.
“Ada apa Mas...? Ada yang bisa saya bantu...?”
“Kalau boleh nanya perawat yang barusan masuk ke ruangan ini mana ya mbak...?”
“Hah... perasaan dari tadi nggak ada perawat lain yang masuk ke ruangan ini. Hari ini cuman saya yang piket. Memang sih dalam jadwal seharusnya ada dua orang yang piket hari ini. Tapi...”

Pandangan Sani tiba-tiba terarah pada salah satu foto di daftar nama perawat rumah sakit itu.
“Ha ini dia mbak... Ini perawat yang aku maksud...” seraya tangannya menunjuk ke salah satu foto perawat yang ada di daftar itu.
“Rinai ? Jadwalnya memang dia piket hari ini. Tapi...”
“Tapi apa mbak....”
“Semalam dia kecelakaan. Saat perjalanan pulang ke rumah, dia ditabrak oleh mobil Ferari dengan kecepatan tinggi. Dan dia sekarang dalam kondisi kritis di ruangan ICU...”

Sontak tubuh Sani melemah. Air matanya dengan deras berjatuhan. Dengan sekuat tenaga dia mencoba untuk menuju ruangan ICU. Dari balik kaca kecil di pintu, Sani melihat seorang perempuan yang tertidur dengan selang-selang yang masih melekat di kepala dan tangannya, perempuan dengan wajah yang sama dengan perawat yang dia lihat saat membacakan cerita pada nenek tua tadi.
“Bangun Rinai...”
“Pliss... Bangun sayang..
“Aku mencintaimu...”
“Maafkan aku yang telah membuatmu seperti ini...”
“Maafkan aku sayang...”
“Pliss bangun....”
“Aku janji gak bakalan balap-balapan liar lagi. Aku janji. Kamu bangun ya...”
“Bangun Rinai....”


Padang, 23 Maret 2018
ACHMAD EDWIN SUTIAWAN

Read more...

Minggu, 04 Maret 2018

KAU; KOMBINASI SEMPURNA ?

0 komentar

Ada rasa lain setiap kali wajah itu ku tatap lamat. Wajah dengan kombinasi yang begitu sempurna; mata biru dengan kelentikan bulu matanya, dihiasi hidung mancung dan bibir merah kehitam-hitaman yang merekah, kulit lembut laksana awan pagi yang meyejukkan mata setiap kali memandang ke arahnya, begitu serasi.

Wajah yang sungguh sampai saat ini tak ku temukan kosa kata yang tepat untuk mewakilinya. Jika ku sebut cantik, dia terlalu manis jika hanya dikatakan cantik, dan kalaupun ku sebut manis, ah... rasanya semua madu, gula, atau apalah... yang meskipun dikumpulkan dari segala penjuru negeri, akan kalah jauh jika kusandingkan dengan wajah itu.

Delia, begitulah orang-orang menyapanya. Tetapi aku lebih “intim” memanggilnya Yaya.

........................................................

“Kevin...?”
Seseorang tiba-tiba memanggilku dari arah belakang. Perlahan ku alihkan pandanganku pada sumber suara itu. Dia adalah Yaya. Seketika ritme jantung ini berdetak tak normal dari biasanya, menyaksikan seseorang dengan kombinasi wajah yang sempurna ada di hadapanku. Ya Tuhan.... apakah ini yang namanya cinta. Jika ada masa dimana waktu berhenti berputar, maka saat ini juga aku ingin hal itu berlaku. Aku ingin tetap menatap wajah dengan kombinasi yang sempurna ini lebih lama lagi.

“Vin... kamu gak apa-apa kan..?”
“Eh.. maaf aku ngelamun tadi...”
“Siang-siang bolong kayak gini masih ngelamun juga...”
“Eh eh... jangan salahkan aku dong... ini salah orang tuamu tauk...”
“Hah.. kok malah orang tuaku yang disalahkan... emang apa hubungannya...”
“Ya sudah jelas salah orang tuamu lah... Punya anak manis kayak gini. Gimana orang tidak ngelamun melihatnya coba...”

Secercah senyum mekar dari bibir indahnya. Sontak pula jantung ini berdetak tak menentu. Ya Tuhan, inikah bidadari surga yang kau janjikan untukku...

“Sudahlah, rayuanmu tidak akan pernah habis setiap kali bertemu aku. Kalau kayak gini gak jadi kita buat tugasnya...”

Yaya adalah teman sekelasku. Kami adalah mahasiswa semester 6 salah satu kampus ternama di Bandung. Sepeti halnya mahasiswa lainnya, hari-hari kami disibukkan dengan tumpukan tugas yang tanpa sedikitpun bersikap humanis. Belum lagi harus membagi waktu untuk beraktivitas di organisasi yang kami ikuti. Semuanya memerlukan manajemen waktu yang tepat.

“Kamu bawa bukunya kan...?”
“Kalau kamu yang minta pastilah ku bawa. Ini....”
“Hah.. bukan buku ini Kevin... tapi buku Filsafat Ilmu...”
“Eh eh maaf... salah ya..”
“Masih ngelamun juga...”
“Habis...”
“Ah sudahlah, pasti ngegombal lagi. Gak selesai-selesai tugas ini nanti...”

.......................................................

Entah apa yang terjadi padaku hari ini. Buku Filsafat Ilmu yang diminta Yaya malah buku Psikologi Pendidikan yang ku berikan padanya. Semuanya jadi serba salah. Tapi sekali lagi ini bukanlah salahku. Salah siapa ? yap, benar. Salah orang tua si pemilik wajah kombinasi sempurna ini.

Suara hape ku tiba-tiba berbunyi. Randa, salah seorang teman kos ku menelpon.

“Vin, kunci kos kau  tarok di mana ?”
“Astagfirullah... kuncinya kebawa. Aku di kampus sekarang. Tunggu bentar ya.. aku selesaikan tugasku sebentar...”
“Oke, cepat ya...”
“Sip sip...”

.................... Hening sejenak.

“Siapa yang menelponmu ?”
“Kawanku, kunci kos kebawak ke kampus. Aku lupa menitipnya ke kamar sebelah tadi pagi. Habisnya... tak sabaran ingin ketemu kamu...”
“Eh ada terus celahmu ngegombal ya... Ya udah, kamu pulang aja duluan. Biar aku saja yang selesaikan tugas ini.”
“Nanti saja, aku selalu menantikan saat-saat seperti ini kau malah menyuruhku pergi...” ucapku dengan sedikit wajah cemberut.

Yaya tertawa. Tampak gigi putih yang berderet rapi dihiasi dua taring yang tertancap manis.
“Jika seandainya kamu adalah vampir, maka kamu satu-satunya vampir termanis dari sekian banyak vampir perempuan yang ada dan aku akan rela mati untuk berulang kali oleh gigitan taring manismu itu...” gumamku dalam hati.

“Kan kawanmu sedang menunggumu. Mana tauk pentingkan...”
“Ya udah aku pulang dulu ya...
“Iya iya..”
“Kamu jangan gigit orang di sini ya...”
“Hah... apa maksudmu..”
Tak begitu kujelaskan ucapanku barusan. Seraya tertawa perlahan menjauh meskipun kaki terasa begitu berat meninggalkan sipemilik wajah berkombinasi sempurna ini.

***

“Kevin.... Kevin... !!!”
Kevin sudah terlalu jauh untuk mendengar suaraku. Padahal aku ingin mengembalikan buku catatan hariannya yang ketinggalan saat membuat tugas bersamaku.

“Ya sudahlah... aku bawa pulang saja bukunya. Besok di kampus aku kembalikan lagi...” gumamku

...................................................................

Hari masih begitu pagi. Sejuk pun masih begitu betah menjamah tubuhku. Semburat kuning keemasan dari ufuk timur menyelinap masuk dari balik ventilasi kamarku. Perlahan ku tarik selimut bermotif flora dari tubuhku dan dengan sigap membuat secangkir teh hangat.

Baru pukul 06.15 WIB. Masih ada waktu untuk rehat sejenak untuk menjamu pagi sebelum berangkat ke kampus. Hari ini kami masuk kuliahnya agak telat, dikarenakan dosennya tidak bisa hadir seperti biasa sebab ada urusan keluarga. Jadi perkuliahan hari ini disepakati mulai jam 08.30 WIB.

Ditemani secangkir teh hangat seraya mengambil novel yang tak kunjung kuselesaikan. Tetapi tanpa sengaja, tanganku menyenggol dan menjatuhkan sebuah buku kecil yang berpaspasan dengan novel tersebut. Salah satu halaman buku tersebut pun dengan molek terbuka, “KOMBINASI SEMPURNA”

Ini adalah buku catatan harian Kevin yang ketinggalan di kampus kemaren. Sontak aku pun penasaran untuk membaca bagian “Kombinasi Sempurna” ini secara keseluruhan.

.......................................................
“Kombinasi Sempurna”
Tujuh September Dua Ribu Lima Belas - tatkala hujan membasahi seantero Kota Bandung. Hari itu mungkin biasa-biasa saja bagi orang lain, tapi tidak dengan ku. Hujan yang mendatangkan hawa sejuk memaksa aku untuk sejenak ke salah satu kantin yang ada di kampus. Kopi hitam adalah pilihanku saat itu. Kopi hitam yang selalu menjadi pilihanku bukanlah sesuatu yang tanpa alasan. Setidaknya ada nilai kehidupan yang bisa ku ambil dari secangkir kopi hitam, yakni tak selamanya yang pahit tak bisa dinikmati.
Tapi bukanlah kopi hitam yang kumaksud Kombinasi Sempurna. Tapi dia, seorang gadis berhijab toska yang sedang duduk di depanku, tepatnya tiga meter dariku, karena setidaknya ada tiga meja yang membatasi antara aku dan dia. Waktu itu aku sedikitpun tak mengenalnya. Sampai ketika aku hendak berdiri untuk membayar secangkir kopi hitam yang telah habis ku seduh kepada Neng Kasir. Tapi sialnya dompetku tertinggal di kos. Dengan alasan lupa membawa dompet aku mengemis kepada Neng Kasir untuk menunda pembayarannya sampai aku jemput dompetku di kos. Tapi sialnya lagi, Neng Kasir yang saat itu adalah petugas baru di kantin tersebut tak mengizinkannya. Di kala itulah, perempuan berhijab toska yang juga ingin membayar jajanannya, tersenyum seraya menyerahkan secarik uang untuk membayar secangkir kopi ku kepada Neng Kasir. Meskipun aku bersikeras menolak, tetapi dia tetap memberikannya pada Neng Kasir. Aku pun mengucapkan terima kasih seraya sedikit berbincang-bincang dengannya.
Namanya Delia, dan dia adalah mahasiswa jurusan Psikologi angkatan 2015, satu jurusan dan satu angkatan denganku. Tapi dikarenakan semester ini tidak ada jadwal kuliah kami yang sama, aku tak sedikitpun mengenalnya.
Dia adalah kombinasi sempurna yang ku masksud, kombinasi sempurna antara kecantikan wajahnya dan kecantikan hatinya.

......................................
Lima Februari Dua Ribu Enam Belas - Ketika sang surya tengah membara di langit Kota Bandung. Perkuliahan telah usai, aku pun berjalan untuk pulang ke kos ku yang berjarak kurang lebih 500 Meter dari kampus. Belum sampai sepuluh langkah berjalan, seseorang dengan sepeda motornya tiba-tiba berhenti tepat di sampingku. Dia adalah Delia. Delia menawarkan untuk mengantarkan ku pulang ke kos, dan sialnya aku tanpa sedikitpun basa-basi lansung menerima tawaran tersebut.
“Sejak kapan kamu jadi tukang ojek .....?” aku memulai percakapan.
“Eh... bukannya terima kasih malah menghina...”
“Maaf... cuman bercanda doang. Oya, boleh ku panggil namamu Yaya ...?”
“Hah kenapa pula Yaya, orang-orang biasa memanggilku Delia aja, kok kamu malah Yaya..”
“Ya... siapa tau kan suatu hari bisa lagi ku panggil Yayang...”
Yaya tertawa seraya memukul bahuku. Sekilas terasa perih, tapi ada rasa lain yang begitu istimewa, yang sama sekali tak bisa ku sampaikan lewat kata.
“Udah mulai berani ngegombal ya sekarang...”
“Untuk mu apa yang tidak...”
“Heleehhhh...”
Kami telah sampai di depan kos ku. Tak terasa perjalanan pulang dari kampus akhirnya bertemu ujung. Jika seandainya ada motor di dunia ini yang kecepatannya seperti keong, maka aku ingin kecepatan motor Delia saat itu layaknya kecepatan keong. Agar aku bisa lebih lama lagi bersama si pemilik wajah kombinasi sempurna ini.
Delia, eh salah... Yaya... Aku mencintaimu...

“Aku juga mencintaimu Kevin....” gumamku dalam hati
Meskipun Kevin selalu mengeluarkan gombalan pamungkasnya setiap kali bertemu aku, Kevin tidak pernah sekalipun menyatakan cintanya padaku. Dan ku akui, aku telah jatuh cinta padanya. Bukan karena gombalannya yang membuat siapapun terpesona, tapi karena rasa nyaman yang sama sekali tak bisa ku verbalkan ketika bersamanya.

“Maafkan aku Kevin.... Maafkan aku...”

***

Seperti biasanya, aku selalu bersemangat untuk berangkat kuliah meskipun jarak antara kos ku dengan kampus terbilang jauh. Jika ada suatu bulan dimana ada banyak kalender merah di dalamnya, maka itu adalah bulan yang paling ku benci. Dan aku selalu memimpikan setiap hari adalah jadwal kuliah, berbeda halnya dengan mahasiswa kebanyakan. Itu semua karena ada sipemilik wajah kombinasi sempurna yang selalu menemani hari-hariku di kampus.

Hari ini terasa agak berbeda dengan hari-hari biasanya, karena hari ini aku akan menyampaikan perasaanku kepada Yaya, tidak dengan sepucuk bunga, tetapi sepasang sepatu. Mungkin terbilang aneh, karena kebanyakan pria tidak suka memberikan hadiah sepatu kepada perempuan yang disukainya sebab beranggapan harga dirinya akan diinjak-injak oleh perempuan tersebut. Tapi tidak denganku. Karena bukanlah Kevin jika tak berbeda dengan orang lain. Sengaja ku memilih sepatu karena harapanku, surga untuk anak-anak kami esoknya (Insya Allah) akan terlindungi oleh sepatu tersebut.

Aku datang lebih awal dari biasanya, karena ku tahu Yaya selalu datang lebih awal dari kawan-kawan yang lain. Perjalanan ke kampus pun menemui ujungnya. Aku telah berada tepat di depan lokal. Ritme jantungku berbeda dari biasanya. Perlahan aku langkahkan kaki seraya hatiku terus berdoa agar bisa mendapatkan Yaya.

“Astagfirullah... apa yang kau lakukan Yaya....?”
“Kevin...?”
“Apa yang terjadi Yaya.... Sungguh tak sedikitpun ku menduga kau seperti ini Yaya..”
“Kevin dengarkan penjelasanku dulu...”
“Tak perlu...”
“Kevin.... Kevin...!!!”

Ya Tuhan, apa yang telah terjadi padaku hari ini. Dan apa yang telah kusaksikan tadi ? Perempuan yang selama ini ku kenal kebaikan hatinya, kombinasi sempurna antara kecantikan wajah dan kecantikan hati, berbanding terbalik dengan yang kulihat barusan. Apa yang telah terjadi Tuhan... Aku menyaksikan dengan kepalaku sendiri Yaya sedang berc*m** dengan salah seorang dosen. Tak pernah sekalipun ku menduga akan seperti ini Tuhan. Harapan yang selama ini kuimpikan sirna sudah. Apa yang terjadi padamu Yaya....

Aku berlari secepatnya meninggalkan Yaya. Tak tahu mana arah tujuannya. Ku saksikan Yaya masih mengejarku dari belakang.

“Kevin... Kevin...!!! dengarkan penjelasanku dulu...”
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.....”

............................................

Ya Tuhan apa lagi yang telah terjadi...

Orang-orang telah memadati lokasi. Ku lihat Yaya telah tebaring lemah berlimang darah di sekujur tubuhnya.
“Yaya... bangun Ya...
Jangan tinggalkan aku Yaya...
Aku mencintaimu...
Aku tak bisa hidup tanpamu Yaya...
Bangun Ya...
Jangan tinggalkan aku...
Pliss... bangun sayang...
Lihat Ya... aku telah menyiapkan sepasang sepatu untuk pelindung surga anak-anak kita nantinya... kau sukakan.. ?
Jawab aku Ya...
Pliss..... jawab sayang....”

Dia tidak sedikitpun mendengarkan ucapanku. Tubuhnya lemah, bersimbah darah. Ya Tuhan, apa yang telah terjadi...
“Yaya pliss.... Jangan tinggalkan aku sayang...”

Bersambung..............
Padang, 4 Maret 2018 (Ch@nd98)

Read more...

Sabtu, 03 Maret 2018

Al Quran, Raja, dan Sahabat

0 komentar


Sudah masyhur gambaran seorang raja, dengan pakaian kebesarannya dia berjalan, dan dengan penuh khidmat menuju takhtanya. Di takhtanya itu dia bertitah, di takhtanya itu dia dipuja.

Karena kebesaran dan keagungannya itu, sang raja disegani. Para petingi raja, pembantunya, apalagi rakyat jelata, menjaga jarak untuk menghormati kedudukan sang raja. Mereka tiada tahu bagaimana seluk beluk kehidupan raja sebenarnya. Terkadang sembah pujanya tiada ikhlas di hati, hanyalah bentuk penghormatan belaka, yang kosong tiada berkesan, sebagian lainnya tidak memedulikan raja itu, mungkin karena jarak yang harus dijaga itu, atau karena titah-titahnya yang berpola sama dan membosankan.

Al Quran, sebagian orang “memperlakukannya” kurang lebih sama dengan cerita sang raja itu

Dia dipuja sebagai kalam Allah, kalimat-kalimat suci berupa perintah dan laranganNya, yang dituliskan dalam lembaran kertas dan dihimpun menjadi suatu kitab. Tidak sembarang orang dapat memegang lembaran itu, kecuali dia harus suci. Tidak boleh—mengikuti tata krama—meletakkan Al Quran sejajar dengan kaki, sehingga ketika dia melihat Al Quran tergeletak begitu saja di lantai hatinya tergerak untuk meletakkannya di tempat tinggi. Bertakhtalah ia di tempat yang tinggi.

Karena “kebesarannya” itu, para pengikutnya “mengambil jarak” dengannya, sehingga mereka tidak tahu bagaimana isi dan makna kitab itu. Terkadang “sembah pujanya” itu “tiada ikhlas di hati”, mungkin hanya terpaksa karena untuk melunasi utang mengaji di surau, atau melanjutkan tradisi Yasinan, ketika hanya saat itulah Al Quran dibacanya, atau lainnya. Sehingga “penghormatan” itu sebenarnya hanyalah kosong, tiada bermakna.

Sebagian lainnya memang tidak menaruh hormat pada kitab itu. Meskipun mereka tergerak untuk meletakkan Al Quran yang tergeletak ke tempat yang lebih tinggi, mereka tidak peduli dengan titah-titah yang tertulis di dalamnya, yang dianggap membosankan. Coba kita letakkan jari di Al Quran yang ada di rumah orang sejenis mereka—syukur kalau ada—dan kita akan tahu sendiri seberapa tebal debu yang melekat pada kitab yang malang itu.

Mulai sekarang, jadikanlah Al Quran sebagai “sahabat” kita.

Sahabat satu ini tidak pernah meninggalkan kita, mungkin malah kita yang meninggalkan dia. Betapa sibuknya hingar bingar kehidupan dunia ini membuat kita lupa bahwa ada sahabat yang harus dikunjungi, diajak cerita.

Tidak masalah pada awalnya kita kaku bertemu dengannya. Tidak masalah pada awalnya kita berkelakar dengannya sebentar. Bukankah orang yang baru dikenal memang terasa kaku, kemudian kita dekati dia sedikit demi sedikit dan akhirnya menjadi sahabat sejati? Tiada susah bersahabat dengan Al Quran, tanyalah bagaimana cara “berkelakar” dengannya kepada “sahabat” lainnya, yang lebih mengerti dirinya. Mereka yang telah mengerti ilmu “berkelakar” dengan Al Quran, yakni ilmu tajwid. Atau lebih jauh, mereka yang telah mendalami seluk beluk Al Quran, yakni para Ulama Tafsir, yang karangan mereka telah diringkas dalam bentuk buku. Bertanyalah kepada mereka yang ahli.

Satu hal penting, di kala sahabat lainnya tidak dapat menenteramkan hati kita, maka datanglah kepada Al Quran sahabat sejati. Tertulis di dalamnya,

Orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat Allah. Ingat, dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS 13:28)

Salah satu cara mengingat Allah adalah dengan membaca Al Quran, karena Al Quran itu adalah perkataan Allah sendiri.

Al Quran Bukanlah Raja Bertakhta
Jadikanlah Sebagai Sahabat Setia
...

Di suatu tempat dan waktu,
Sebelum sepasang kekasih hendak dijadikan “Raja dan Ratu Sehari”

IBNU SALIM BAJAMBEK

Read more...

Rabu, 28 Februari 2018

Kami Tidak Sama, Namun Kami Satu.

0 komentar

Oleh : Randa (Sejarah '15 UNP)

Saya merasakan sebuah gejolak dihati ini, apa yang terjadi saat ini tidak sesuai dengan keinginan saya ketika baru menginjakan kaki dibangku perkuliahan dulu, namun jiwa ini saya ajak berbicara berdua saja, saya meyakinkan dia bahwa ini adalah rencana Tuhan dan Tuhan selalu merencanakan yang terbaik untuk hambanya-Nya.

Pagi ini Sabtu 24 Februari 2018, cuaca begitu cerah, mentari sudah mulai beranjak naik di Timur sana, daun-daun mulai mengibaskan embun yang menyelimutinya sehingga jatuh ke tanah tanpa meninggalkan bekas, burung-burung memulai operasinya, terbang kesana-kesini untuk mencari satu atau dua biji makanan untuk pagi ini. Saya rasa persiapan saya sudah cukup, saya memulai langkah perjalanan dengan mengendarai motor menuju kampus yang tidak begitu jauh, walaupun hari ini hari sabtu saya tetap ke kampus, karena hari ini akan dilaksanakan Upgrading kepengurusan HMJ Sejarah UNP periode 2017-2018.

Syukur Alhamdulillah, pada periode kali ini, kami mendapatkan kepercayaan untuk mengemban amanah sebagai pengurus HMJ Sejarah FIS UNP periode 2017-2018, tentu ini sebuah amanah yang harus dijaga dengan baik karena kelak akan dimintak pertanggung jawabannya di mata manusia dan juga di mata Sang Pencipta. Sebanyak 33 orang kami mengucapkan sumpah dengan al-Qur’an diletakkan di atas kepala ini dan disaksikan oleh orang banyak. Banyak yang terlintas di kepala ini, ketika kami disuruh mengulang apa yang diucapkan oleh sang pengambil sumpah, kata-kata setia, bekerja, bersungguh-sungguh dan bertanggung jawab adalah kata-kata yang sangat saya cermati, kata-kata itu begitu ringan diucapkan namun begitu berat untuk dilaksanakan. Karena memang sejatinya kata-kata adalah penipu yang paling ulung, betapa banyak diluar sana orang-orang menangis karena janji dan kata-kata manis. Maka saran saya jangan terlalu percaya terhadap kata-kata seseorang, apalagi mereka yang pintar mengumbar janji manis.

Untuk menjadi pengurus yang handal, kreatif dan mandiri, tentu dibutuhkan sebuah pelatihan yang akan memupuk dan menanamkan wawasan keilmuan tentang Kepemimpinan dan keorganisasian. Ini bertujuan untuk mengahasilkan pengurus sebuah organisasi yang paham organisasi, yang bersungguh-sungguh dalam mengemban amanah dan rukun dalam ikatan kebersamaan organisasinya. Banyak cara yang dilakukan oleh berbagai instansi atau sebuah organisasi untuk mencapai tujuan tersebut, salah satunya adalah HMJ Sejarah FIS UNP tempat saya dan teman-teman berproses hari ini. Bergabung dalam kepengurusan HMJ hari ini merupakan sebuah kebetulan dan diluar rencana saya, karena semenjak menginjakkan kaki di bangku perkuliahan tidak pernah terlintas dikepala ini untuk menjadi bagian dari sebuah oragnisasi apapun itu, namun setelah saya bawa  jiwa ini untuk berbicara berdua saja, saya merasa ini adalah anugrah yang besar, ini merupakan bentuk proses pendewasaan yang Tuhan titipkan kepada HMJ sejarah untuk saya, saya mulai meyakinkan diri bahwa ini adalah rencana Tuhan, dan Tuhan selalu inginkan yang terbaik untuk hamba-Nya.

Dengan mengucapkan Bismillahhirrahmanirrahim maka acara Upgrading pengurus HMJ ini saya bukak dengan resmi, suara yang begitu tegas, jelas dan lantang terucap dari mulut sekretaris jurusan kami Bapak Dr. Ofianto, dengan tangan memukul podium bagian atas sebanyak tiga kali dan kemudian diringi dengan tepuk tangan yang meriah oleh peserta Upgradig pagi itu. Seusai pembukaan secara resmi oleh Bapak Ofianto, rangkaian acara Upgrading dimulai, dengan formalitas kami diserahkan kepada pemateri-pemateri yang akan memandu kami selama dua hari kedepan.

Matur Prasojo, memulai materi pagi ini, dengan penuh semangat dia menyapa kami dengan bervariasi sapaan, mengahadirkan sebuah hal baru ditengah-tengah kami, mnghidupkan kembali gairah kami sebagai seorang aktivis, membawa angin kesejukan, bagaikan taman yang sudah hampir putus asa menunggu hujan. Bg Jo, begitu kami memanggilnya, kami dimintak memperkenalkan diri dan memperkenalkan teman disebelah kami, kami merasa ini adalah kedekatan kami yang begitu dekat dengan teman-teman, sehingga kami merasa tidak ada lagi perbedaan kampung, angkatan, bendera, pemahaman, namun kami disatukan dibawah sebuah bendera baru yang bernama Himpuanan Mahasiswa Jurusan Sejarah atau HMJ Sejarah.

Kata-kata lembut seorang dosen paruh baya mulai menghiasi ruangan sidang siang itu, dia adalah Dr. Aisiah, merupakan dosen yang tergolong muda namun penuh prestasi yang dimilki oleh Jurusan Sejarah ini, adalah sebuah kebangaan dapat bertemu dan bertanya lansung kepada orang seperti Buk Ai kami memanggilnya. Dia menanamkan konsep-konsep, nilai-nilai yang harus kami miliki sebagai mahasiswa dan seorang aktivis. Pengalaman beliau sangatlah banyak, merupakan seorang aktivis dimasanya, konsisten, tepat waktu dan berkomitmen tinggi adalah pelajaran yang paling besar yang kami dapatkan dari seorang Dr. Aisiah diruangan itu.

Hari beranjak siang, lantuanan kebesar Ilahi menggema diluar sana, sejenak kami tundukan kepala ini dan beristirahat, acara akan dilanjutkan selesai sholat dan makan siang. Stamina kami yang sudah terisi kembali disambut dengan kata-kata “kawan-kawan” oleh seorang pemateri yang tidak asing lagi  bagi kami, dia adalah seorang senior yang penuh dengan kata-kata mutiara, yang selalu menjadikan tempat duduk sebagai kesempatan untuk berdiskusi, Bg ferdi kami memanggilnya, nama lengkapnya Ferdi Andika, S.Pd. Lagi-lagi kami dibakar dengan kata-kata “HMJ ini tanggung jawab kawan-kawan kedepannya”, kata-kata itu masuk kedalam lubuk hati paling dalam dan bersembunyi disana, tanpa memberi harapan lagi untuk keluar.

Notifikasi pemberitahuan pesan masuk melalui WA membangunkan saya subuh itu, jam menunjukan setengah enam pagi. Saya bersiap untuk melanjutkan kembali kegiatan Upgrading hari ini, kegitan hari ini terasa lebih menarik, karena acaranya berupa out bont yang akan dilaksanakan di tepi pantai, sebuah tempat yang paling cocok menjadi teman dikala hati ini penuh gundah dan gelisah, ya…. pantai adalah teman yang paling setia dan kekasih yang paling tulus.

Kami telah berada di lokasi, tepatnya di Pantai Batu, Muaro Penyalinan Pasir Jambak, seperti biasa kegiatan dimulai dengan berdoa bersama dan dilanjutkan dengan berbagai macam permainan yang dipandu oleh Bg Jo dan Bg Ferdi. Cuaca hari ini kurang bersahabat, jauh disana awan-awan hitam telah tersenyum kepada kami bahwa sebentar lagi dia akan mengirimkan hujan, lautpun berbisik bahwa sebentar lagi badai akan mengahantam. Benar saja, tidak lama setelah itu hujanpun membasahi bumi, badai dari arah laut menyapa kami dengan penuh keperkasaan, namun kami tidak takut, kami tetap berada diposisi semula, kami tidak berteduh, karena kami yakin pelangi yang indah itu akan hadir setelah hujan.

Ditemani dengan rintikan hujan yang deras, memasahi sekujur tubuh kami, angin kencang yang berhembus membuat tubuh ini menggigil kedinginan, jari jemari kami memucat kedinginan, namun jiwa dan hati kami tetap panas dan hangat, disitu kami yakin bahwa pelangi saat itu sudah bersinar di Jiwa ini. Kami sudah dipenghujung acara, namun hujan belum mengalah, Bg Jo dan Bg Ferdi menyuruh kami duduk melingkar saling membelakangi, kami disuruh memilih satu angka dari keseluruhan jumlah kami, apabila kami mengambil angka yang sama satu dengan yang lain, kami disuruh mengulang kembali dan itu berlangsung sekian lama dibawah guyuran hujan yang semakin deras dan dingin.

Dengan penuh kebersamaan, akhirnya permainan ini dapat kami selesaikan dengan baik, disini kami semua sejenak menakurkan kepala, kami mendapatkan banyak hal, kami memperoleh sesuatu yang belum tentu kami dapatkan di kelas. Kami baru sadar bahwa kami adalah satu kesatuan, kami adalah keluarga, dan kami adalah sebuah sistem, kami sadar, kami tidak sama, namun kami adalah satu. Hati ini kembali terikat dengan sebuah janji untuk berbuat demi HMJ dengan menandatangani Pakta Integritas diatas sebuah kertas putih yang didahului dengan sebuah pengakuan “kami sadar sesadar-sadarnya, kami akan berbuat, mengabdi, bekerja dan akan menjadikan HMJ ini kedepannya jauh lebih baik lagi”.


Kota Padang, 24/25 Februari 2018

………..RANDA……….
Read more...
 
HMJ Sejarah UNP © 2017-2018