Pages

Banner 468 x 60px

 

Kamis, 10 Mei 2018

Mempelai Itu Bernama Ramadhan

1 komentar


Bila nanti saatnya t’lah tiba
Ku ingin kau menjadi istriku

Ramadhan. Umat muslim mana yang tidak mengenal nama ini. Sebuah perusahaan sirup legendaris takkala semakin gencar diiklankan di berbagai televisi negeri ini maka sebuah pertanda bahwa dia akan datang. Mari kita bahasakan nama yang suci itu menjadi seorang ‘mempelai’.

Berbagai cara manusia menyambut ‘mempelai’ ini. Mungkin, bagi sebagian orang, ‘pertunangan’ akan dimulai dengan meminta maaf satu sama lain. Yang lain mungkin dengan membersihkan makam dan membaca doa di depannya. Banyak pula yang ingin membersihkan dirinya dengan menceburkan diri ke sungai, yang dinamakan dengan ‘padusan’ atau balimau. Lebih banyak lagi—karena adat—orang yang merelakan bolos kerja—atau sekolah, atau kuliah—untuk bersama-sama dengan keluarga memulai sahur pertama di kampungnya masing-masing. Ada juga orang yang malang, karena kampungnya nan jauh di mata, atau karena tugas dan tanggung jawabnya yang berat, sehingga tidak dapat pulang untuk menikmati waktu bersama, yang barangkali hanya dinikmatinya satu dua kali setahun.

Masjid, atau surau atau mushala atau langgar atau yang sejenis, menjadi tempat utama menyambut sang mempelai. Hari pertama saja sudah penuh sesak oleh jamaah yang hendak salat tarawih yang berdurasi mulai dari 8 menit hingga berjam-jam. Belum dihitung satu setengah jam sebelumnya, ketika jamaah berebut segala hidangan berbuka yang beragam, mulai dari yang sederhana seperti teh manis, sampai yang kompleks seperti kolak. Kurma biasanya merupakan hidangan wajib, untuk mengingat dan menghadirkan suasana padang pasir tempat asal mempelai ini, sehingga tak ketinggalan penjual kurma yang menjamur dari toko besar hingga kedai-kedai.

Di sisi lain, kedatangan sang mempelai justru membuat banyak orang lemas dan malas. Nyatanya, kinerja banyak pekerja dikurangi dari biasanya. Waktu belajar siswa juga dibatasi. Intinya, segala aktivitas padat, ketika sang mempelai datang, menjadi tersendat. Nama sang mempelai telah menjelaskan semuanya: Ramadhan, asal katanya berarti sangat panas. Aturan sang mempelai menjelaskan lebih lanjut: segala benda luar tidak boleh masuk ke dalam kerongkongan, dari fajar sampai petang. Jadi orang-orang sudah punya alasan untuk lemas. Pelemasan ini diperparah dengan perkataan “tidur siang menjadi ibadah”, senjata ampuh bermalas-malasan takkala Ramadhan tiba.

Apalagi anak sekolah yang dibatasi waktu belajarnya sampai tengah hari, dibantainya tidur begitu sampai di rumahnya. Ajaibnya, ritual sore tidak ketinggalan. Ketika sore hari lain lapangan sepi, kali ini berisi. Ramailah lapangan, entah bermain layang, entah suara tembakan meriam bambu, bermain gasing, dan seribu adat bermain lainnya. Semuanya dikemas dalam sebuah nama yang populer: ngabuburit. Pasar juga ramai, untuk menjual penganan khas yang tidak ditemukan takkala sang ‘mempelai’ belum datang.

***

Bila nanti saat berpisah t’lah tiba
Izinkanku menjaga dirimu

Bila ada pertemuan, tentu ada perpisahan. Selama dunia ini masih ada, dua hal ini saling berpelukan mesra dan takkan lepas.

Sang mempelai juga punya waktu perpisahannya. Ketika waktu itu hampir tiba, banyak orang yang mempersiapkan perpisahan dengan mempelai itu. Justru di saat itu, pengeluaran rumah tangga membengkak. Bukan untuk ‘menjaga’ sang mempelai, melainkan menyiapkan upacara perpisahan baginya. Dan masjid-masjid penyambut mempelai semakin sepi saja, kecuali mungkin di kampung yang banyak melahirkan para perantau, sebab mereka akan kembali ke kampungnya takkala hari perpisahan semakin dekat.

Ketika perpisahan itu benar-benar tiba, mempelai itu bukan ditangisi, tetapi dilepas dengan suka cita. Jalan penuh sesak pada malam perpisahan dengan gerombolan obor dan riuh genderang bedug, plus gelegar kembang api dan takbir yang membahana. Isi pengeluaran yang membengkak tadi bertumpah ruah untuk keesokan harinya. Baju terbaik keluar, sajadah terbaik juga keluar, masakan sedap terus keluar. Yang tidak pernah makan daging mungkin akan menyantapnya hari ini, kalau harta mendukung. Macam seorang suami yang ditinggal mati istrinya yang suka melarang ini itu, begitu meninggal sang suami serasa merdeka. Seakan-akan tiada rasa sedih hati ketika sang mempelai meninggalkan mereka.

Bayangkan kalau sang ‘mempelai’ benar-benar seorang manusia! Dimakinya orang-orang yang sibuk mempersiapkan diri untuk menyambut sang ‘mempelai’ itu. Orang-orang yang minta-minta maaf, atau yang mandi ‘padusan’ atau ‘balimau’ tadi, akan dihujatnya, sok suci. Betapa malangnya dia ketika tidak ada yang menemani di ujung waktunya, diratapinya orang-orang yang menyambutnya kemarin, karena mereka semuanya kabur dan tidak peduli padanya. Tidak ada yang benar-benar setia menemaninya baik senang maupun susah. Mayatnya tidak diiring ratap tangis dan duka, tetapi dengan genderang suka cita, lalu mayat itu dicampakkan ke laut!

Padahal belum tentu mereka mendapati sang mempelai tahun depan, kecuali dalam keadaan mulut dipenuhi tanah, dan yang punya mulut itu sudah masuk ke lubang, ditimbun dan ditandai nisan, tidak pernah kembali lagi. Padahal, mempelai itu muncul untuk mendekatkan diri mereka kepada sang ‘Mertua’, yang dibutuhkan semua orang. Sang ‘Mertua’ telah menjanjikan banyak hal dan mendatangkan ‘menantu’Nya untuk kita, tetapi sebagian kita menyia-nyiakannya.

Adakah manusia akan benar-benar tergerak untuk menyambut ‘mempelai’ ini?

Mempelai itu bukanlah sebuah wujud, melainkan sebuah waktu...
Mempelai itu bernama Ramadhan

Padang, 25 Sya’ban 1439/11 Mei 2018
Ibnu Salim Bajambek

1 komentar:

Posting Komentar

 
HMJ Sejarah UNP © 2017-2018