Pages

Banner 468 x 60px

 

Jumat, 23 Maret 2018

SANG PERAWAT

0 komentar


“Aaaaaaaaaaaaa.......”
“Tolong tolong tolong....”
“Tolong tolong....”

Jeritan demi jeritan menggema. Hanya berbilang detik, jalan telah dipenuhi oleh ratusan orang. Mereka yang berniat menolong ataupun mereka yang hanya sekedar ingin mengusir rasa penasaran terhadap apa yang barusan terjadi, tanpa sedikitpun berbuat apa-apa. Darah yang tak terbendung lagi telah membuat sepanjang badan jalan berwarna merah mengerikan. Aungan ambulance terdengar begitu mencekam. Menerobos masuk ke dalam ratusan orang yang berdiri sedari tadi. Melaju cepat setelah korban-korban dimasukkan dengan sigap oleh petugas.

“Aku dimana ?” Tangannya mulai bergerak. Mata yang semenjak semalam terlelap perlahan terbuka.
“Alhamdulillah kamu udah sadar sayang. Kamu sekarang ada di rumah sakit. Kamu istirahat saja dulu ya... Kondisimu belum pulih betul....” jawab seorang ibuk-ibuk berkepala lima, yang telah semalaman menemani buah hatinya yang mengalami kecelakaan.
“Papa mana..?”
“Papa masih di luar negeri. Barusan tadi dia nelpon nanya kabar kamu. Mungkin besok baru nyampe sini...”
“Ferari-ku gimana Ma...? nanti aku pasti dimarahin Papa...”
“Kamu gak usah mikirin itu dulu Sani. Kamu istirahat saja. Urusan itu biar Mama yang ngomong sama Papa nanti...”
“Tapi Ma...”
“Shhhhhh....” seraya mengusap lembut kepala anaknya yang masih diperban.
“Kamu gak usah mikir-mikir yang lain. Sekarang istirahat saja dulu. Kata dokter benturanmu semalam tidak terlalu keras, jadi hanya butuh istirahat untuk beberapa hari saja...”
“Aku pengen pulang Ma... Gak enak disini”
“Kata dokter kamu belum bisa pulang hari ini. Tiga hari ke depan baru kamu diizinkan pulang. Kamu yang sabar saja Sani. Anggap ini teguran dari Tuhan untukmu yang selalu balap-balapan liar di jalanan...”
“Ah... Mama gak ngerti kali dunia anak muda. Kecelakaan dikit kayak gini ya biasalah... Namanya juga laki-laki...”
“Kamu gak pernah mau berubah sedikitpun. Kawan-kawanmu setelah mengalami kecelakaan semuanya memilih meninggalkan hoby gila itu. Kamu saja lagi. Entah kapan kamu bisa berhenti dari balap-balapan liar itu. Mama khawatir tau...”
“Gak usah terlalu mengkhawatirkan aku Ma... Kalau memang sudah ajal kan mau dimana juga ya kita akan tetap mati. Toh mau duduk manis di rumah kalau memang sudah ajalnya kan tetap mati juga Ma...”
“Ah.. kamu paling susah kalau dibilangin. Kamu saja yang betul...”
“Udahlah Ma... Aku mau keluar bentar.. Nyari angin segar di dekat sini...”
“Tapi kondisimu masih lemah Sani...”
“Aku gak apa-apa kok.. Aku bosan disini..”
“Mama temenin ya...”
“Gak usah Ma.. Aku bisa sendiri..”
“Beneran gak mau nih...?”
“Iya...”
“Ya udah kamu hati-hati ya sayang...”
“Iya Ma...”

Sani perlahan melangkah, beranjak keluar. Tak jelas juga tujuannya. Hanya dituntun oleh keinginan hati. Dia berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang lumayan panjang. Langkahnya tiba-tiba terhenti, bukan karena kakinya yang masih terasa sakit akibat benturan semalam. Tapi karena seseorang. Seseorang yang mengenakan pakaian serba putih seperti halnya pakaian perawat kebanyakan, hanya saja dia dihiasi dengan hijab syar’i yang juga berwarna putih, yang tak dapat dijumpai pada perawat-perawat yang lain di rumah sakit ini. Seorang perawat dengan wajah yang mampu membuat jantung Sani berdetak lebih kencang dari biasanya.

Dengan langkah perlahan dia mencoba mengikuti sang perawat itu. Perawat itu memasuki salah satu ruangan pasien. Dia sedang mengganti cairan infus pasien yang hampir habis. Sani mencoba mengintip dari balik pintu, menyimak dengan seksama perawat yang sejak tadi membuat jantungnya berdetak kencang.
“Nenek yang banyak istirahatnya ya...”
“Iya nak...”
“Nak...?”
“Ada apa nek..?”
“Nenek boleh nggak minta tolong ambilkan buku itu...” Ucap pasien yang sudah berumur 80 tahun itu seraya tangannya menunjuk ke arah buku yang terletak di atas meja.
Perawat itupun dengan lembut memberikan buku itu kepada pasiennya.
“Boleh gak nenek minta bacakan buku cerita ini...”
“Ah nenek... kayak anak kecil aja... udah tua masih saja suka dengar cerita...” tersenyum seraya tangannya mencubit manja pipi pasien yang telah berumur 80 tahun itu.
“Dengar ya... tapi nenek janji akan tidur setelah mendengar cerita ini ya...”
“Ya nenek janji cantik...”
“Ah nenek muji kalau ada maunya saja...”
Mereka berdua tertawa. Layaknya seorang nenek dengan cucu kandungnya. Bukan lagi seorang pasien dan perawat.
“Ya Tuhan... begitu lembut hati perempuan itu. Sungguh aku telah jatuh cinta padanya. Mengagumkan. Aku mohon Tuhan, jika aku telah sembuh nanti, izinkan aku untuk bisa mendekatinya. Aku berjanji akan menikahinya...”

Pasien berumur 80 tahun itu pun tertidur pulas. Sang perawat menyudahi membacakan buku cerita itu. Dia pun beranjak untuk keluar ruangan. Sani yang sedari tadi menyimak di balik pintu bergegas melangkah dan pura-pura tidak tahu apa-apa ketika perawat itu lewat di depannya. Perawat itu tersenyum padanya. Membuat detak jantung Sani berdetak lebih kencang lagi. Kakinya melemah. Tubuhnya terdiam pasrah. Terkena panah cinta sang perawat itu.

Sani masih memperhatikan perawat itu yang berjalan dengan anggun menuju ruangannya. Rasa cinta yang tak terbendung lagi membuat dia berusaha mengejar perawat itu sebisa mungkin. Meskipun kakinya terasa sakit ketika harus digerakkan lebih cepat.

Sani telah berada tepat di depan pintu ruangan perawat. Dia mencoba mengetuk pintu dan yang keluar bukanlah perawat yang dia cari.
“Ada apa Mas...? Ada yang bisa saya bantu...?”
“Kalau boleh nanya perawat yang barusan masuk ke ruangan ini mana ya mbak...?”
“Hah... perasaan dari tadi nggak ada perawat lain yang masuk ke ruangan ini. Hari ini cuman saya yang piket. Memang sih dalam jadwal seharusnya ada dua orang yang piket hari ini. Tapi...”

Pandangan Sani tiba-tiba terarah pada salah satu foto di daftar nama perawat rumah sakit itu.
“Ha ini dia mbak... Ini perawat yang aku maksud...” seraya tangannya menunjuk ke salah satu foto perawat yang ada di daftar itu.
“Rinai ? Jadwalnya memang dia piket hari ini. Tapi...”
“Tapi apa mbak....”
“Semalam dia kecelakaan. Saat perjalanan pulang ke rumah, dia ditabrak oleh mobil Ferari dengan kecepatan tinggi. Dan dia sekarang dalam kondisi kritis di ruangan ICU...”

Sontak tubuh Sani melemah. Air matanya dengan deras berjatuhan. Dengan sekuat tenaga dia mencoba untuk menuju ruangan ICU. Dari balik kaca kecil di pintu, Sani melihat seorang perempuan yang tertidur dengan selang-selang yang masih melekat di kepala dan tangannya, perempuan dengan wajah yang sama dengan perawat yang dia lihat saat membacakan cerita pada nenek tua tadi.
“Bangun Rinai...”
“Pliss... Bangun sayang..
“Aku mencintaimu...”
“Maafkan aku yang telah membuatmu seperti ini...”
“Maafkan aku sayang...”
“Pliss bangun....”
“Aku janji gak bakalan balap-balapan liar lagi. Aku janji. Kamu bangun ya...”
“Bangun Rinai....”


Padang, 23 Maret 2018
ACHMAD EDWIN SUTIAWAN

Read more...

Minggu, 04 Maret 2018

KAU; KOMBINASI SEMPURNA ?

0 komentar

Ada rasa lain setiap kali wajah itu ku tatap lamat. Wajah dengan kombinasi yang begitu sempurna; mata biru dengan kelentikan bulu matanya, dihiasi hidung mancung dan bibir merah kehitam-hitaman yang merekah, kulit lembut laksana awan pagi yang meyejukkan mata setiap kali memandang ke arahnya, begitu serasi.

Wajah yang sungguh sampai saat ini tak ku temukan kosa kata yang tepat untuk mewakilinya. Jika ku sebut cantik, dia terlalu manis jika hanya dikatakan cantik, dan kalaupun ku sebut manis, ah... rasanya semua madu, gula, atau apalah... yang meskipun dikumpulkan dari segala penjuru negeri, akan kalah jauh jika kusandingkan dengan wajah itu.

Delia, begitulah orang-orang menyapanya. Tetapi aku lebih “intim” memanggilnya Yaya.

........................................................

“Kevin...?”
Seseorang tiba-tiba memanggilku dari arah belakang. Perlahan ku alihkan pandanganku pada sumber suara itu. Dia adalah Yaya. Seketika ritme jantung ini berdetak tak normal dari biasanya, menyaksikan seseorang dengan kombinasi wajah yang sempurna ada di hadapanku. Ya Tuhan.... apakah ini yang namanya cinta. Jika ada masa dimana waktu berhenti berputar, maka saat ini juga aku ingin hal itu berlaku. Aku ingin tetap menatap wajah dengan kombinasi yang sempurna ini lebih lama lagi.

“Vin... kamu gak apa-apa kan..?”
“Eh.. maaf aku ngelamun tadi...”
“Siang-siang bolong kayak gini masih ngelamun juga...”
“Eh eh... jangan salahkan aku dong... ini salah orang tuamu tauk...”
“Hah.. kok malah orang tuaku yang disalahkan... emang apa hubungannya...”
“Ya sudah jelas salah orang tuamu lah... Punya anak manis kayak gini. Gimana orang tidak ngelamun melihatnya coba...”

Secercah senyum mekar dari bibir indahnya. Sontak pula jantung ini berdetak tak menentu. Ya Tuhan, inikah bidadari surga yang kau janjikan untukku...

“Sudahlah, rayuanmu tidak akan pernah habis setiap kali bertemu aku. Kalau kayak gini gak jadi kita buat tugasnya...”

Yaya adalah teman sekelasku. Kami adalah mahasiswa semester 6 salah satu kampus ternama di Bandung. Sepeti halnya mahasiswa lainnya, hari-hari kami disibukkan dengan tumpukan tugas yang tanpa sedikitpun bersikap humanis. Belum lagi harus membagi waktu untuk beraktivitas di organisasi yang kami ikuti. Semuanya memerlukan manajemen waktu yang tepat.

“Kamu bawa bukunya kan...?”
“Kalau kamu yang minta pastilah ku bawa. Ini....”
“Hah.. bukan buku ini Kevin... tapi buku Filsafat Ilmu...”
“Eh eh maaf... salah ya..”
“Masih ngelamun juga...”
“Habis...”
“Ah sudahlah, pasti ngegombal lagi. Gak selesai-selesai tugas ini nanti...”

.......................................................

Entah apa yang terjadi padaku hari ini. Buku Filsafat Ilmu yang diminta Yaya malah buku Psikologi Pendidikan yang ku berikan padanya. Semuanya jadi serba salah. Tapi sekali lagi ini bukanlah salahku. Salah siapa ? yap, benar. Salah orang tua si pemilik wajah kombinasi sempurna ini.

Suara hape ku tiba-tiba berbunyi. Randa, salah seorang teman kos ku menelpon.

“Vin, kunci kos kau  tarok di mana ?”
“Astagfirullah... kuncinya kebawa. Aku di kampus sekarang. Tunggu bentar ya.. aku selesaikan tugasku sebentar...”
“Oke, cepat ya...”
“Sip sip...”

.................... Hening sejenak.

“Siapa yang menelponmu ?”
“Kawanku, kunci kos kebawak ke kampus. Aku lupa menitipnya ke kamar sebelah tadi pagi. Habisnya... tak sabaran ingin ketemu kamu...”
“Eh ada terus celahmu ngegombal ya... Ya udah, kamu pulang aja duluan. Biar aku saja yang selesaikan tugas ini.”
“Nanti saja, aku selalu menantikan saat-saat seperti ini kau malah menyuruhku pergi...” ucapku dengan sedikit wajah cemberut.

Yaya tertawa. Tampak gigi putih yang berderet rapi dihiasi dua taring yang tertancap manis.
“Jika seandainya kamu adalah vampir, maka kamu satu-satunya vampir termanis dari sekian banyak vampir perempuan yang ada dan aku akan rela mati untuk berulang kali oleh gigitan taring manismu itu...” gumamku dalam hati.

“Kan kawanmu sedang menunggumu. Mana tauk pentingkan...”
“Ya udah aku pulang dulu ya...
“Iya iya..”
“Kamu jangan gigit orang di sini ya...”
“Hah... apa maksudmu..”
Tak begitu kujelaskan ucapanku barusan. Seraya tertawa perlahan menjauh meskipun kaki terasa begitu berat meninggalkan sipemilik wajah berkombinasi sempurna ini.

***

“Kevin.... Kevin... !!!”
Kevin sudah terlalu jauh untuk mendengar suaraku. Padahal aku ingin mengembalikan buku catatan hariannya yang ketinggalan saat membuat tugas bersamaku.

“Ya sudahlah... aku bawa pulang saja bukunya. Besok di kampus aku kembalikan lagi...” gumamku

...................................................................

Hari masih begitu pagi. Sejuk pun masih begitu betah menjamah tubuhku. Semburat kuning keemasan dari ufuk timur menyelinap masuk dari balik ventilasi kamarku. Perlahan ku tarik selimut bermotif flora dari tubuhku dan dengan sigap membuat secangkir teh hangat.

Baru pukul 06.15 WIB. Masih ada waktu untuk rehat sejenak untuk menjamu pagi sebelum berangkat ke kampus. Hari ini kami masuk kuliahnya agak telat, dikarenakan dosennya tidak bisa hadir seperti biasa sebab ada urusan keluarga. Jadi perkuliahan hari ini disepakati mulai jam 08.30 WIB.

Ditemani secangkir teh hangat seraya mengambil novel yang tak kunjung kuselesaikan. Tetapi tanpa sengaja, tanganku menyenggol dan menjatuhkan sebuah buku kecil yang berpaspasan dengan novel tersebut. Salah satu halaman buku tersebut pun dengan molek terbuka, “KOMBINASI SEMPURNA”

Ini adalah buku catatan harian Kevin yang ketinggalan di kampus kemaren. Sontak aku pun penasaran untuk membaca bagian “Kombinasi Sempurna” ini secara keseluruhan.

.......................................................
“Kombinasi Sempurna”
Tujuh September Dua Ribu Lima Belas - tatkala hujan membasahi seantero Kota Bandung. Hari itu mungkin biasa-biasa saja bagi orang lain, tapi tidak dengan ku. Hujan yang mendatangkan hawa sejuk memaksa aku untuk sejenak ke salah satu kantin yang ada di kampus. Kopi hitam adalah pilihanku saat itu. Kopi hitam yang selalu menjadi pilihanku bukanlah sesuatu yang tanpa alasan. Setidaknya ada nilai kehidupan yang bisa ku ambil dari secangkir kopi hitam, yakni tak selamanya yang pahit tak bisa dinikmati.
Tapi bukanlah kopi hitam yang kumaksud Kombinasi Sempurna. Tapi dia, seorang gadis berhijab toska yang sedang duduk di depanku, tepatnya tiga meter dariku, karena setidaknya ada tiga meja yang membatasi antara aku dan dia. Waktu itu aku sedikitpun tak mengenalnya. Sampai ketika aku hendak berdiri untuk membayar secangkir kopi hitam yang telah habis ku seduh kepada Neng Kasir. Tapi sialnya dompetku tertinggal di kos. Dengan alasan lupa membawa dompet aku mengemis kepada Neng Kasir untuk menunda pembayarannya sampai aku jemput dompetku di kos. Tapi sialnya lagi, Neng Kasir yang saat itu adalah petugas baru di kantin tersebut tak mengizinkannya. Di kala itulah, perempuan berhijab toska yang juga ingin membayar jajanannya, tersenyum seraya menyerahkan secarik uang untuk membayar secangkir kopi ku kepada Neng Kasir. Meskipun aku bersikeras menolak, tetapi dia tetap memberikannya pada Neng Kasir. Aku pun mengucapkan terima kasih seraya sedikit berbincang-bincang dengannya.
Namanya Delia, dan dia adalah mahasiswa jurusan Psikologi angkatan 2015, satu jurusan dan satu angkatan denganku. Tapi dikarenakan semester ini tidak ada jadwal kuliah kami yang sama, aku tak sedikitpun mengenalnya.
Dia adalah kombinasi sempurna yang ku masksud, kombinasi sempurna antara kecantikan wajahnya dan kecantikan hatinya.

......................................
Lima Februari Dua Ribu Enam Belas - Ketika sang surya tengah membara di langit Kota Bandung. Perkuliahan telah usai, aku pun berjalan untuk pulang ke kos ku yang berjarak kurang lebih 500 Meter dari kampus. Belum sampai sepuluh langkah berjalan, seseorang dengan sepeda motornya tiba-tiba berhenti tepat di sampingku. Dia adalah Delia. Delia menawarkan untuk mengantarkan ku pulang ke kos, dan sialnya aku tanpa sedikitpun basa-basi lansung menerima tawaran tersebut.
“Sejak kapan kamu jadi tukang ojek .....?” aku memulai percakapan.
“Eh... bukannya terima kasih malah menghina...”
“Maaf... cuman bercanda doang. Oya, boleh ku panggil namamu Yaya ...?”
“Hah kenapa pula Yaya, orang-orang biasa memanggilku Delia aja, kok kamu malah Yaya..”
“Ya... siapa tau kan suatu hari bisa lagi ku panggil Yayang...”
Yaya tertawa seraya memukul bahuku. Sekilas terasa perih, tapi ada rasa lain yang begitu istimewa, yang sama sekali tak bisa ku sampaikan lewat kata.
“Udah mulai berani ngegombal ya sekarang...”
“Untuk mu apa yang tidak...”
“Heleehhhh...”
Kami telah sampai di depan kos ku. Tak terasa perjalanan pulang dari kampus akhirnya bertemu ujung. Jika seandainya ada motor di dunia ini yang kecepatannya seperti keong, maka aku ingin kecepatan motor Delia saat itu layaknya kecepatan keong. Agar aku bisa lebih lama lagi bersama si pemilik wajah kombinasi sempurna ini.
Delia, eh salah... Yaya... Aku mencintaimu...

“Aku juga mencintaimu Kevin....” gumamku dalam hati
Meskipun Kevin selalu mengeluarkan gombalan pamungkasnya setiap kali bertemu aku, Kevin tidak pernah sekalipun menyatakan cintanya padaku. Dan ku akui, aku telah jatuh cinta padanya. Bukan karena gombalannya yang membuat siapapun terpesona, tapi karena rasa nyaman yang sama sekali tak bisa ku verbalkan ketika bersamanya.

“Maafkan aku Kevin.... Maafkan aku...”

***

Seperti biasanya, aku selalu bersemangat untuk berangkat kuliah meskipun jarak antara kos ku dengan kampus terbilang jauh. Jika ada suatu bulan dimana ada banyak kalender merah di dalamnya, maka itu adalah bulan yang paling ku benci. Dan aku selalu memimpikan setiap hari adalah jadwal kuliah, berbeda halnya dengan mahasiswa kebanyakan. Itu semua karena ada sipemilik wajah kombinasi sempurna yang selalu menemani hari-hariku di kampus.

Hari ini terasa agak berbeda dengan hari-hari biasanya, karena hari ini aku akan menyampaikan perasaanku kepada Yaya, tidak dengan sepucuk bunga, tetapi sepasang sepatu. Mungkin terbilang aneh, karena kebanyakan pria tidak suka memberikan hadiah sepatu kepada perempuan yang disukainya sebab beranggapan harga dirinya akan diinjak-injak oleh perempuan tersebut. Tapi tidak denganku. Karena bukanlah Kevin jika tak berbeda dengan orang lain. Sengaja ku memilih sepatu karena harapanku, surga untuk anak-anak kami esoknya (Insya Allah) akan terlindungi oleh sepatu tersebut.

Aku datang lebih awal dari biasanya, karena ku tahu Yaya selalu datang lebih awal dari kawan-kawan yang lain. Perjalanan ke kampus pun menemui ujungnya. Aku telah berada tepat di depan lokal. Ritme jantungku berbeda dari biasanya. Perlahan aku langkahkan kaki seraya hatiku terus berdoa agar bisa mendapatkan Yaya.

“Astagfirullah... apa yang kau lakukan Yaya....?”
“Kevin...?”
“Apa yang terjadi Yaya.... Sungguh tak sedikitpun ku menduga kau seperti ini Yaya..”
“Kevin dengarkan penjelasanku dulu...”
“Tak perlu...”
“Kevin.... Kevin...!!!”

Ya Tuhan, apa yang telah terjadi padaku hari ini. Dan apa yang telah kusaksikan tadi ? Perempuan yang selama ini ku kenal kebaikan hatinya, kombinasi sempurna antara kecantikan wajah dan kecantikan hati, berbanding terbalik dengan yang kulihat barusan. Apa yang telah terjadi Tuhan... Aku menyaksikan dengan kepalaku sendiri Yaya sedang berc*m** dengan salah seorang dosen. Tak pernah sekalipun ku menduga akan seperti ini Tuhan. Harapan yang selama ini kuimpikan sirna sudah. Apa yang terjadi padamu Yaya....

Aku berlari secepatnya meninggalkan Yaya. Tak tahu mana arah tujuannya. Ku saksikan Yaya masih mengejarku dari belakang.

“Kevin... Kevin...!!! dengarkan penjelasanku dulu...”
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.....”

............................................

Ya Tuhan apa lagi yang telah terjadi...

Orang-orang telah memadati lokasi. Ku lihat Yaya telah tebaring lemah berlimang darah di sekujur tubuhnya.
“Yaya... bangun Ya...
Jangan tinggalkan aku Yaya...
Aku mencintaimu...
Aku tak bisa hidup tanpamu Yaya...
Bangun Ya...
Jangan tinggalkan aku...
Pliss... bangun sayang...
Lihat Ya... aku telah menyiapkan sepasang sepatu untuk pelindung surga anak-anak kita nantinya... kau sukakan.. ?
Jawab aku Ya...
Pliss..... jawab sayang....”

Dia tidak sedikitpun mendengarkan ucapanku. Tubuhnya lemah, bersimbah darah. Ya Tuhan, apa yang telah terjadi...
“Yaya pliss.... Jangan tinggalkan aku sayang...”

Bersambung..............
Padang, 4 Maret 2018 (Ch@nd98)

Read more...

Sabtu, 03 Maret 2018

Al Quran, Raja, dan Sahabat

0 komentar


Sudah masyhur gambaran seorang raja, dengan pakaian kebesarannya dia berjalan, dan dengan penuh khidmat menuju takhtanya. Di takhtanya itu dia bertitah, di takhtanya itu dia dipuja.

Karena kebesaran dan keagungannya itu, sang raja disegani. Para petingi raja, pembantunya, apalagi rakyat jelata, menjaga jarak untuk menghormati kedudukan sang raja. Mereka tiada tahu bagaimana seluk beluk kehidupan raja sebenarnya. Terkadang sembah pujanya tiada ikhlas di hati, hanyalah bentuk penghormatan belaka, yang kosong tiada berkesan, sebagian lainnya tidak memedulikan raja itu, mungkin karena jarak yang harus dijaga itu, atau karena titah-titahnya yang berpola sama dan membosankan.

Al Quran, sebagian orang “memperlakukannya” kurang lebih sama dengan cerita sang raja itu

Dia dipuja sebagai kalam Allah, kalimat-kalimat suci berupa perintah dan laranganNya, yang dituliskan dalam lembaran kertas dan dihimpun menjadi suatu kitab. Tidak sembarang orang dapat memegang lembaran itu, kecuali dia harus suci. Tidak boleh—mengikuti tata krama—meletakkan Al Quran sejajar dengan kaki, sehingga ketika dia melihat Al Quran tergeletak begitu saja di lantai hatinya tergerak untuk meletakkannya di tempat tinggi. Bertakhtalah ia di tempat yang tinggi.

Karena “kebesarannya” itu, para pengikutnya “mengambil jarak” dengannya, sehingga mereka tidak tahu bagaimana isi dan makna kitab itu. Terkadang “sembah pujanya” itu “tiada ikhlas di hati”, mungkin hanya terpaksa karena untuk melunasi utang mengaji di surau, atau melanjutkan tradisi Yasinan, ketika hanya saat itulah Al Quran dibacanya, atau lainnya. Sehingga “penghormatan” itu sebenarnya hanyalah kosong, tiada bermakna.

Sebagian lainnya memang tidak menaruh hormat pada kitab itu. Meskipun mereka tergerak untuk meletakkan Al Quran yang tergeletak ke tempat yang lebih tinggi, mereka tidak peduli dengan titah-titah yang tertulis di dalamnya, yang dianggap membosankan. Coba kita letakkan jari di Al Quran yang ada di rumah orang sejenis mereka—syukur kalau ada—dan kita akan tahu sendiri seberapa tebal debu yang melekat pada kitab yang malang itu.

Mulai sekarang, jadikanlah Al Quran sebagai “sahabat” kita.

Sahabat satu ini tidak pernah meninggalkan kita, mungkin malah kita yang meninggalkan dia. Betapa sibuknya hingar bingar kehidupan dunia ini membuat kita lupa bahwa ada sahabat yang harus dikunjungi, diajak cerita.

Tidak masalah pada awalnya kita kaku bertemu dengannya. Tidak masalah pada awalnya kita berkelakar dengannya sebentar. Bukankah orang yang baru dikenal memang terasa kaku, kemudian kita dekati dia sedikit demi sedikit dan akhirnya menjadi sahabat sejati? Tiada susah bersahabat dengan Al Quran, tanyalah bagaimana cara “berkelakar” dengannya kepada “sahabat” lainnya, yang lebih mengerti dirinya. Mereka yang telah mengerti ilmu “berkelakar” dengan Al Quran, yakni ilmu tajwid. Atau lebih jauh, mereka yang telah mendalami seluk beluk Al Quran, yakni para Ulama Tafsir, yang karangan mereka telah diringkas dalam bentuk buku. Bertanyalah kepada mereka yang ahli.

Satu hal penting, di kala sahabat lainnya tidak dapat menenteramkan hati kita, maka datanglah kepada Al Quran sahabat sejati. Tertulis di dalamnya,

Orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat Allah. Ingat, dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS 13:28)

Salah satu cara mengingat Allah adalah dengan membaca Al Quran, karena Al Quran itu adalah perkataan Allah sendiri.

Al Quran Bukanlah Raja Bertakhta
Jadikanlah Sebagai Sahabat Setia
...

Di suatu tempat dan waktu,
Sebelum sepasang kekasih hendak dijadikan “Raja dan Ratu Sehari”

IBNU SALIM BAJAMBEK

Read more...
 
HMJ Sejarah UNP © 2017-2018