“Aaaaaaaaaaaaa.......”
“Tolong tolong
tolong....”
“Tolong tolong....”
Jeritan demi jeritan menggema. Hanya berbilang detik, jalan telah dipenuhi oleh ratusan orang. Mereka yang berniat menolong ataupun mereka yang hanya sekedar ingin mengusir rasa penasaran terhadap apa yang barusan terjadi, tanpa sedikitpun berbuat apa-apa. Darah yang tak terbendung lagi telah membuat sepanjang badan jalan berwarna merah mengerikan. Aungan ambulance terdengar begitu mencekam. Menerobos masuk ke dalam ratusan orang yang berdiri sedari tadi. Melaju cepat setelah korban-korban dimasukkan dengan sigap oleh petugas.
“Aku dimana ?” Tangannya mulai bergerak. Mata yang semenjak semalam terlelap perlahan terbuka.
“Alhamdulillah
kamu udah sadar sayang. Kamu sekarang ada di rumah sakit. Kamu istirahat saja
dulu ya... Kondisimu belum pulih betul....” jawab seorang ibuk-ibuk berkepala
lima, yang telah semalaman menemani buah hatinya yang mengalami kecelakaan.
“Papa
mana..?”
“Papa
masih di luar negeri. Barusan tadi dia nelpon nanya kabar kamu. Mungkin besok
baru nyampe sini...”
“Ferari-ku
gimana Ma...? nanti aku pasti dimarahin Papa...”
“Kamu
gak usah mikirin itu dulu Sani. Kamu istirahat saja. Urusan itu biar Mama yang
ngomong sama Papa nanti...”
“Tapi
Ma...”
“Shhhhhh....”
seraya mengusap lembut kepala anaknya yang masih diperban.
“Kamu
gak usah mikir-mikir yang lain. Sekarang istirahat saja dulu. Kata dokter
benturanmu semalam tidak terlalu keras, jadi hanya butuh istirahat untuk
beberapa hari saja...”
“Aku
pengen pulang Ma... Gak enak disini”
“Kata
dokter kamu belum bisa pulang hari ini. Tiga hari ke depan baru kamu diizinkan
pulang. Kamu yang sabar saja Sani. Anggap ini teguran dari Tuhan untukmu yang
selalu balap-balapan liar di jalanan...”
“Ah...
Mama gak ngerti kali dunia anak muda. Kecelakaan dikit kayak gini ya
biasalah... Namanya juga laki-laki...”
“Kamu
gak pernah mau berubah sedikitpun. Kawan-kawanmu setelah mengalami kecelakaan
semuanya memilih meninggalkan hoby gila itu. Kamu saja lagi. Entah kapan kamu
bisa berhenti dari balap-balapan liar itu. Mama khawatir tau...”
“Gak
usah terlalu mengkhawatirkan aku Ma... Kalau memang sudah ajal kan mau dimana juga
ya kita akan tetap mati. Toh mau duduk manis di rumah kalau memang sudah
ajalnya kan tetap mati juga Ma...”
“Ah..
kamu paling susah kalau dibilangin. Kamu saja yang betul...”
“Udahlah
Ma... Aku mau keluar bentar.. Nyari angin segar di dekat sini...”
“Tapi
kondisimu masih lemah Sani...”
“Aku
gak apa-apa kok.. Aku bosan disini..”
“Mama
temenin ya...”
“Gak
usah Ma.. Aku bisa sendiri..”
“Beneran
gak mau nih...?”
“Iya...”
“Ya
udah kamu hati-hati ya sayang...”
“Iya
Ma...”
Sani perlahan melangkah, beranjak keluar. Tak jelas juga tujuannya. Hanya dituntun oleh keinginan hati. Dia berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang lumayan panjang. Langkahnya tiba-tiba terhenti, bukan karena kakinya yang masih terasa sakit akibat benturan semalam. Tapi karena seseorang. Seseorang yang mengenakan pakaian serba putih seperti halnya pakaian perawat kebanyakan, hanya saja dia dihiasi dengan hijab syar’i yang juga berwarna putih, yang tak dapat dijumpai pada perawat-perawat yang lain di rumah sakit ini. Seorang perawat dengan wajah yang mampu membuat jantung Sani berdetak lebih kencang dari biasanya.
Dengan langkah perlahan dia mencoba mengikuti sang perawat itu. Perawat itu memasuki salah satu ruangan pasien. Dia sedang mengganti cairan infus pasien yang hampir habis. Sani mencoba mengintip dari balik pintu, menyimak dengan seksama perawat yang sejak tadi membuat jantungnya berdetak kencang.
“Nenek
yang banyak istirahatnya ya...”
“Iya
nak...”
“Nak...?”
“Ada
apa nek..?”
“Nenek
boleh nggak minta tolong ambilkan buku itu...” Ucap pasien yang sudah berumur
80 tahun itu seraya tangannya menunjuk ke arah buku yang terletak di atas meja.
Perawat
itupun dengan lembut memberikan buku itu kepada pasiennya.
“Boleh
gak nenek minta bacakan buku cerita ini...”
“Ah
nenek... kayak anak kecil aja... udah tua masih saja suka dengar cerita...”
tersenyum seraya tangannya mencubit manja pipi pasien yang telah berumur 80
tahun itu.
“Dengar
ya... tapi nenek janji akan tidur setelah mendengar cerita ini ya...”
“Ya
nenek janji cantik...”
“Ah
nenek muji kalau ada maunya saja...”
Mereka
berdua tertawa. Layaknya seorang nenek dengan cucu kandungnya. Bukan lagi
seorang pasien dan perawat.
“Ya
Tuhan... begitu lembut hati perempuan itu. Sungguh aku telah jatuh cinta
padanya. Mengagumkan. Aku mohon Tuhan, jika aku telah sembuh nanti, izinkan aku
untuk bisa mendekatinya. Aku berjanji akan menikahinya...”
Pasien berumur 80 tahun itu pun tertidur pulas. Sang perawat menyudahi membacakan buku cerita itu. Dia pun beranjak untuk keluar ruangan. Sani yang sedari tadi menyimak di balik pintu bergegas melangkah dan pura-pura tidak tahu apa-apa ketika perawat itu lewat di depannya. Perawat itu tersenyum padanya. Membuat detak jantung Sani berdetak lebih kencang lagi. Kakinya melemah. Tubuhnya terdiam pasrah. Terkena panah cinta sang perawat itu.
Sani masih memperhatikan perawat itu yang berjalan dengan anggun menuju ruangannya. Rasa cinta yang tak terbendung lagi membuat dia berusaha mengejar perawat itu sebisa mungkin. Meskipun kakinya terasa sakit ketika harus digerakkan lebih cepat.
Sani telah berada tepat di depan pintu ruangan perawat. Dia mencoba mengetuk pintu dan yang keluar bukanlah perawat yang dia cari.
“Ada
apa Mas...? Ada yang bisa saya bantu...?”
“Kalau
boleh nanya perawat yang barusan masuk ke ruangan ini mana ya mbak...?”
“Hah...
perasaan dari tadi nggak ada perawat lain yang masuk ke ruangan ini. Hari ini
cuman saya yang piket. Memang sih dalam jadwal seharusnya ada dua orang yang
piket hari ini. Tapi...”
Pandangan Sani tiba-tiba terarah pada salah satu foto di daftar nama perawat rumah sakit itu.
“Ha
ini dia mbak... Ini perawat yang aku maksud...” seraya tangannya menunjuk ke
salah satu foto perawat yang ada di daftar itu.
“Rinai
? Jadwalnya memang dia piket hari ini. Tapi...”
“Tapi
apa mbak....”
“Semalam
dia kecelakaan. Saat perjalanan pulang ke rumah, dia ditabrak oleh mobil Ferari
dengan kecepatan tinggi. Dan dia sekarang dalam kondisi kritis di ruangan ICU...”
Sontak tubuh Sani melemah. Air matanya dengan deras berjatuhan. Dengan sekuat tenaga dia mencoba untuk menuju ruangan ICU. Dari balik kaca kecil di pintu, Sani melihat seorang perempuan yang tertidur dengan selang-selang yang masih melekat di kepala dan tangannya, perempuan dengan wajah yang sama dengan perawat yang dia lihat saat membacakan cerita pada nenek tua tadi.
“Bangun
Rinai...”
“Pliss...
Bangun sayang..
“Aku
mencintaimu...”
“Maafkan
aku yang telah membuatmu seperti ini...”
“Maafkan
aku sayang...”
“Pliss
bangun....”
“Aku
janji gak bakalan balap-balapan liar lagi. Aku janji. Kamu bangun ya...”
“Bangun
Rinai....”
Padang, 23 Maret 2018
ACHMAD
EDWIN SUTIAWAN