Bila nanti saatnya t’lah
tiba
Ku ingin kau menjadi istriku
Ramadhan. Umat muslim mana yang tidak mengenal nama ini. Sebuah
perusahaan sirup legendaris takkala semakin gencar diiklankan di berbagai
televisi negeri ini maka sebuah pertanda bahwa dia akan datang. Mari kita
bahasakan nama yang suci itu menjadi seorang ‘mempelai’.
Berbagai cara manusia menyambut ‘mempelai’ ini. Mungkin, bagi sebagian
orang, ‘pertunangan’ akan dimulai dengan meminta maaf satu sama lain. Yang lain
mungkin dengan membersihkan makam dan membaca doa di depannya. Banyak pula yang
ingin membersihkan dirinya dengan menceburkan diri ke sungai, yang dinamakan
dengan ‘padusan’ atau balimau. Lebih banyak lagi—karena adat—orang yang
merelakan bolos kerja—atau sekolah, atau kuliah—untuk bersama-sama dengan
keluarga memulai sahur pertama di kampungnya masing-masing. Ada juga orang yang
malang, karena kampungnya nan jauh di mata, atau karena tugas dan tanggung
jawabnya yang berat, sehingga tidak dapat pulang untuk menikmati waktu bersama,
yang barangkali hanya dinikmatinya satu dua kali setahun.
Masjid, atau surau atau mushala atau langgar atau yang sejenis, menjadi
tempat utama menyambut sang mempelai. Hari pertama saja sudah penuh sesak oleh
jamaah yang hendak salat tarawih yang berdurasi mulai dari 8 menit hingga
berjam-jam. Belum dihitung satu setengah jam sebelumnya, ketika jamaah berebut
segala hidangan berbuka yang beragam, mulai dari yang sederhana seperti teh
manis, sampai yang kompleks seperti kolak. Kurma biasanya merupakan hidangan
wajib, untuk mengingat dan menghadirkan suasana padang pasir tempat asal
mempelai ini, sehingga tak ketinggalan penjual kurma yang menjamur dari toko
besar hingga kedai-kedai.
Di sisi lain, kedatangan sang mempelai justru membuat banyak orang
lemas dan malas. Nyatanya, kinerja banyak pekerja dikurangi dari biasanya. Waktu
belajar siswa juga dibatasi. Intinya, segala aktivitas padat, ketika sang
mempelai datang, menjadi tersendat. Nama sang mempelai telah menjelaskan
semuanya: Ramadhan, asal katanya berarti sangat panas. Aturan sang mempelai
menjelaskan lebih lanjut: segala benda luar tidak boleh masuk ke dalam
kerongkongan, dari fajar sampai petang. Jadi orang-orang sudah punya alasan
untuk lemas. Pelemasan ini diperparah dengan perkataan “tidur siang menjadi
ibadah”, senjata ampuh bermalas-malasan takkala Ramadhan tiba.
Apalagi anak sekolah yang dibatasi waktu belajarnya sampai tengah hari,
dibantainya tidur begitu sampai di rumahnya. Ajaibnya, ritual sore tidak ketinggalan.
Ketika sore hari lain lapangan sepi, kali ini berisi. Ramailah lapangan, entah
bermain layang, entah suara tembakan meriam bambu, bermain gasing, dan seribu
adat bermain lainnya. Semuanya dikemas dalam sebuah nama yang populer:
ngabuburit. Pasar juga ramai, untuk menjual penganan khas yang tidak ditemukan
takkala sang ‘mempelai’ belum datang.
***
Bila nanti saat berpisah
t’lah tiba
Izinkanku menjaga dirimu
Bila ada pertemuan, tentu ada perpisahan. Selama dunia ini masih ada,
dua hal ini saling berpelukan mesra dan takkan lepas.
Sang mempelai juga punya waktu perpisahannya. Ketika waktu itu hampir
tiba, banyak orang yang mempersiapkan perpisahan dengan mempelai itu. Justru di
saat itu, pengeluaran rumah tangga membengkak. Bukan untuk ‘menjaga’ sang
mempelai, melainkan menyiapkan upacara perpisahan baginya. Dan masjid-masjid
penyambut mempelai semakin sepi saja, kecuali mungkin di kampung yang banyak
melahirkan para perantau, sebab mereka akan kembali ke kampungnya takkala hari
perpisahan semakin dekat.
Ketika perpisahan itu benar-benar tiba, mempelai itu bukan ditangisi,
tetapi dilepas dengan suka cita. Jalan penuh sesak pada malam perpisahan dengan
gerombolan obor dan riuh genderang bedug, plus gelegar kembang api dan takbir
yang membahana. Isi pengeluaran yang membengkak tadi bertumpah ruah untuk
keesokan harinya. Baju terbaik keluar, sajadah terbaik juga keluar, masakan
sedap terus keluar. Yang tidak pernah makan daging mungkin akan menyantapnya
hari ini, kalau harta mendukung. Macam seorang suami yang ditinggal mati
istrinya yang suka melarang ini itu, begitu meninggal sang suami serasa
merdeka. Seakan-akan tiada rasa sedih hati ketika sang mempelai meninggalkan
mereka.
Bayangkan kalau sang ‘mempelai’ benar-benar seorang manusia! Dimakinya
orang-orang yang sibuk mempersiapkan diri untuk menyambut sang ‘mempelai’ itu.
Orang-orang yang minta-minta maaf, atau yang mandi ‘padusan’ atau ‘balimau’
tadi, akan dihujatnya, sok suci. Betapa malangnya dia ketika tidak ada yang
menemani di ujung waktunya, diratapinya orang-orang yang menyambutnya kemarin,
karena mereka semuanya kabur dan tidak peduli padanya. Tidak ada yang benar-benar
setia menemaninya baik senang maupun susah. Mayatnya tidak diiring ratap tangis
dan duka, tetapi dengan genderang suka cita, lalu mayat itu dicampakkan ke
laut!
Padahal belum tentu mereka mendapati sang mempelai tahun depan, kecuali
dalam keadaan mulut dipenuhi tanah, dan yang punya mulut itu sudah masuk ke
lubang, ditimbun dan ditandai nisan, tidak pernah kembali lagi. Padahal,
mempelai itu muncul untuk mendekatkan diri mereka kepada sang ‘Mertua’, yang
dibutuhkan semua orang. Sang ‘Mertua’ telah menjanjikan banyak hal dan
mendatangkan ‘menantu’Nya untuk kita, tetapi sebagian kita menyia-nyiakannya.
Adakah manusia akan benar-benar tergerak untuk menyambut ‘mempelai’
ini?
Mempelai itu bukanlah sebuah wujud, melainkan sebuah waktu...
Mempelai itu bernama Ramadhan
Padang, 25 Sya’ban 1439/11 Mei 2018
Ibnu Salim Bajambek